5. Gagasan Nietzsche telah ditafsirkan sebagai ekspresi kesadaran terfragmentasi atau ketidakstabilan eksistensial oleh berbagai penulis modern dan postmodern, terutama oleh Martin Heidegger, Michel Foucault, dan Gilles Deleuze. Konsep Dionysian dan Apollonian membentuk dialektika, keduanya memang terasa kontras, tetapi bagi Nietzsche (dalam tafsir para pemikir postmodern) keduanya selalu dibutuhkan untuk mencipta dialektika dalam pengalaman aktual manusia atau dalam konteks budaya. Kebenaran adalah rasa sakit primordial, oleh sebab keberadaan eksistensial kita ditentukan oleh dialektika Dionysian dan Apollonian, dan inilah hakikat dari “tragedi” itu.
6. Jerome Seymour Bruner, seorang psikolog Amerika yang memberikan kontribusi signifikan terhadap teori pembelajaran kognitif dalam psikologi pendidikan, pernah berkata, “Apollo tanpa Dionysus mungkin benar-benar seorang warga yang baik, tapi ia orang yang membosankan. Ia bahkan mungkin ‘ter-budaya-kan’, dalam makna yang sering didapati pada tulisan-tulisan konvesional tentang pendidikan… Namun, tanpa Dionysus, Appolo tak akan pernah dapat mencipta dan mencipta ulang kebudayaan.”
7. “Tak ada fakta, hanya interpretasi!” Begitulah Nietzsche pernah berkata. Kita mencipta dewa-dewa kita untuk memahami misteri dari dalam diri kita sendiri, seperti juga interpretasi Nietzsche tentang dua dewa Yunani kuno, Apollo dan Dionysus. Nietzsche tidak berupaya menguraikan perihal hakikat keilahian, melainkan hakikat diri manusia sebagai sebuah misteri yang terus menggerakkan hidup kita dan, bahkan, sebagai setitik debu di tengah keluasan jagad raya.
—————————————————–
Esai @ Ahmad Yulden Erwin, 2017
—————————————————–