Apa artinya ini? Menurut saya, seni sejak masa prasejarah bukanlah sekadar ekspresi meniru alam (mimesis), tetapi juga melebih-lebihkan. Objek tidak hanya ditiru, tetapi juga diinterpretasikan secara berlebihan untuk menarik persepsi indrawi atau emosi. Rasa saya, ini memang menjadi dasar yang terus melekat dalam pikiran manusia hingga kini: realitas bukanlah hal yang biasa, tetapi “luar biasa”.
Apakah kecenderungan untuk melebih-lebihkan itu berhubungan dengan ‘isi” yang ada pada objeknya, dengan data indrawi yang dipersepsi oleh manusia? Jawabnya: Tidak. Kecenderungan itu tidak berhubungan dengan fakta “apa adanya”, tetapi dengan emosi. Manusia purba membuat benda seni berupa patung atau liontin untuk menarik perhatian manusia lainnya dalam komunikasi mereka. Yang lain itu bisa juga berupa sosok gaib, seperti dewi kesuburan dan atau arwah para leluhur mereka. Soal melebih-lebihkan ini adalah soal emosi, soal menarik perhatian yang lain, bukan soal isi. Jadi, hal yang luar biasa itu, hal yang dilebih-lebihkan itu, adalah perkara strategi teks, perkara menarik perhatian yang lain, bukan substansi dari “teks”. Hal yang dianggap luar biasa itu, Tuan dan Puan, adalah soal konteks dan ko-teks, bukan isi teks.
Pelebih-lebihan persepsi indrawi itu bukanlah dasar dari metafora, karena metafora masih mensyaratkan kemiripan dengan realita yang hendak dimetaforakan. Menurut hipotesis saya, pelebih-lebihan itu adalah akar dari patafora, dari imajinasi. Apakah imajinasi tak bermanfaat? Sebaliknya, imajinasi justru akar dari kemajuan manusia dalam berbahasa, dalam berpikir. Imajinasi mampu merusak simetri yang beku, yang tertutup, dari sistem berpikir manusia purba. Imajinasi menantang manusia purba untuk mencari jawaban atas hal yang tak dikenal. Namun, ketika imajinasi kembali dikurung menjadi realitas yang tak bisa diragukan, menjadi suara lain yang pasti, yang lengkap dan sempurna, maka imajinasi akan kehilangan daya ubahnya. Ketika imajinasi yang tertutup itu diterima oleh kaum fanatik sebagai kepastian rigorus, maka yang terjadi kemudian, seperti banyak fakta sejarah perihal tendensi ekstrim agama-agama besar dunia pada masa lalu, termasuk paradigma teroris berbasis keagamaan pada saat ini, kemungkinan besar adalah pembodohan dan penghalalan untuk membunuh mereka yang berpikir beda.
Rasa saya, sungguh sebuah parodi yang menakjubkan, bila setelah 11.000 tahun sejak pembuatan patung Venus dari Monruz, mayoritas kita tetap tak mampu melihat dan mengenali segala hal yang biasa. Kita terus saja merasa pasti bahwa yang biasa itu luar biasa dan mulai berpikir bahwa ada dunia lain, The Matrix, di balik segala hal yang biasa. Perlahan kita pun mulai merasa sebagai Neo yang bertanya lirih kepada “teks” ciptaannya sendiri: “What is real?”
—————————————————————
Esai @ Ahmad Yulden Erwin, 2015 – 2016
—————————————————————