More

    Pendalaman Tematik

    Photo: Bottle Vase by Ken Matsuzaki, Japan.

    Salah satu unsur terpenting di dalam komposisi puitik, sehubungan dengan “isi” puisi, adalah soal Pendalaman tematik. Ada satu konsep filsafat yang tepat terkait pendalaman tematik, yaitu dari seorang filsuf eksistensialis Jerman pada abad ke-20, Karl Jaspers, mengenai “chiffer-chiffer”. Istilah ini diartikan sebagai “situasi-situasi batas” dalam eksistensi manusia. Menurut Karl Jaspers ada beberapa situasi batas yang akan membuat eksistensi manusia “retak” menuju pengalaman transendensi, di antaranya: kematian, penderitaan, perjuangan, kesalahan, kegagalan, cinta, dan keilahian.

    Chiffer-chiffer ini mencipta rasa ambang dan membuka pilihan bebas manusia: menerima situasi-situasi batas itu atau menolaknya. Ketika eksistensi retak dalam situasi-situasi batas, menurut Karl Jaspers, tak selayaknya membikin manusia menyerah, namun itu justru merupakan celah bagi manusia untuk menyadari bahwa eksistensinya tidaklah identik dengan situasi rutin semata, dengan keterasingan dan kutuk kehampaan belaka. Setiap situasi batas adalah sebuah peluang bagi manusia untuk terus-menerus mentransendensikan kemanusiaannya, untuk melampaui keterbatasannya.

    Dalam kaitannya dengan penulisan sastra, jika Anda memahami apa yang dimaksud dengan chiffer-chiffer atau situasi-situasi batas dalam hidup manusia, maka Anda akan memahami dengan baik tema-tema dasar apa yang akan menggugah “rasa” terdalam dari jiwa manusia. Orang tak akan tergugah membaca rasa sepi Anda yang ditulis dengan berlarat-larat. Karena kesepian dan keterasingan Anda bukanlah situasi batas bagi orang lain, bukan satu chiffer yang akan meretakkan eksistensi pembaca untuk bertransendensi, untuk “keluar” dari situasi rutinnya. Tapi, jika Anda bisa menampilkan satu atau beberapa situasi batas di dalam kisah kesepian Anda, maka pembaca kisah Anda kemungkinan besar akan tergugah. Misal: kesepian saat menghadapi hukuman mati, kesepian saat berjuang mempertahankan keadilan, kesepian yang merindukan cinta seorang kekasih, kesepian dalam bayangan keilahian. Kesepian, atau mungkin lebih kena disebut keheningan, yang tercipta dalam situasi-situasi batas itu tak lain manefestasi dari “rasa ambang”.

    - Advertisement -

    Salah satu kisah abadi yang menggunakan kekuatan dari chiffer-chiffer ini adalah “hikayat Joshua”. Kisah ini tak akan menjadi kisah abadi yang mampu menggugah “rasa ambang manusia” selama 2000 tahun lebih dan bisa diterima di jantung kebudayaan berbagai bangsa, seandainya epik besar itu tidak memunculkan tema-tema dasar yang timbul dari situasi-situasi batas.

    Penulis hikayat Joshua benar-benar “lihai” menggunakan kekuatan chiffer-chiffer secara total. Joshua digambarkan berjuang sendirian—chiffer berjuang yang ekstrim ini tergambarkan dalam kisah mulai dari pengembaraannya sendirian di gurun selama 40 hari tanpa makan dan minum, hingga saat ia memikul sendiri kayu salibnya ke Bukit Golgota. Ia juga digambarkan menahan siksaan yang tak terbayangkan kejinya—visualisasi chiffer penderitaan ekstrim ini dapat dilihat seperti dalam film Mel Gibson tentang “Kesabaran Kristus”. Hal itu dilakukan oleh Joshua demi menebus dosa seluruh umat manusia—chiffer kesalahan yang bagaimana lagi akan mampu menandingi bila kesalahan itu melingkupi dosa seluruh umat manusia dari masa lalu hingga masa depan? Alasan Joshua melakukan semua itu karena ia begitu mencintai “seluruh” manusia—chiffer cinta milik Joshua ini begitu universal, begitu tak terbatas, hingga nyaris mustahil bagi manusia mana pun untuk menyaingi keluasan dan ketulusan cintanya. Namun, ia juga mengalami rasa kegagalan total karena bahkan ia merasa Tuhan sendiri telah meninggalkannya pada saat menjelang kematiannya—chiffer kegagalan total ini diungkapkan dengan satu kalimat yang telah begitu terkenal, “Elloi, Elloi, lama sabachtani!” (manusia modern mungkin telah biasa meninggalkan Tuhan, tapi puncak kegagalan apa lagi yang bisa dirasakan melebihi ditinggalkan oleh Tuhan sendiri?). Lau, ia pun digambarkan mati di kayu salib dengan tubuh nyaris telanjang di antara dua penjahat yang juga disalibkan—chiffer kematian yang begitu ekstrem dalam keadaan yang mengenaskan dan hina; namun kemudian pada hari ketiga ia pun dibangkitkan kembali untuk melegitimasi keilahiannya, menjadi Tuhan yang Hidup di antara manusia (chiffer keilahian apalagi yang lebih ekstrem selain mewujudnya Tuhan yang maha gaib menjadi manusia yang hidup di alam nyata?). Dan Paulus memberikan kunci pembuka “chiffer-chiffer” dalam kisah epik terbesar itu, kisah Joshua, dengan satu kalimat: “Segalanya bermula dari kata…”

    Situasi-situasi batas dalam hikayat Joshua benar-benar ditarik oleh “sang penulis” hikayat Joshua sampai batasnya, dan itu pula yang membuat hikayat Joshua ini menggugah secara “ekstatif” guna memicu “rasa ambang” atau keharuan bermilyar manusia selama dua ribu tahun lebih.

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here