JAKARTA, KabarKampus – Sejumlah pemuka agama menyatakan penolakan terhadap UU Omnibus Law yang telah disahkan DPR RI kemarin. Penolakan tersebut mereka nyatakan dalam maklumat yang dibacakan secara daring pada hari Selasa, (06/10/2020).
Dalam maklumat mereka melihat Undang-undang omnibus law berpotensi menimbulkan perubahan drastis tata sistem politik hukum Indonesia yang sudah ada dibangun. Selain itu berpotensi menimbulkan ketidakadilan sosial, ekonomi, dan lingkungan secara sangat sistemik dan masif, yang implikasinya akan merubah sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sejumlah pemuka agama yang ikut menyatakan sikap Prof. KH. Maksum Mahfudz, Pdt. DR. Merry Kolimon, Prof. Busyro Muqodas, Engkus Ruswana, Roy Murtadho dan Pdt. Penrad Sagian. Poin-poin yang mereka persoalkan dalam UU tersebut yaitu :
Beberapa persoalan mendasar dalam RUU Cipta Kerja tersebut antara lain:
Spionase dan ancaman kebebasan beragama-berkeyakinan, khususnya
adanya wacana pengawasan aliran kepercayaan oleh kepolisian.
Pasal 82 RUU Omnibus Cipta Kerja, dalam huruf D, memberikan kewenangan
kepada kepolisian untuk dapat mengawasi aliran yang dapat menimbulkan
perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Ketentuan ini
justru akan melanggengkan stigma, penyingkiran, diskriminasi dan pelanggaran
HAM yang terjadi berpuluh-puluh tahun kepada kelompok minoritas agama
atau keyakinan dan menimbulkan kecurigaan antar sesama warga negara.
Spionase terhadap aliran kepercayaan ini juga secara semangatnya bertentangan dengan berbagai pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009, dimana dalam pertimbangan putusan tersebut Negara wajib menjamin dan melindungi semua agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia, termasuk aliran kepercayaan atau aliran kebatinan.
Selain itu kewenangan spionase oleh Kepolisian juga secara semangatnya menyalahi pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016, dimana aliran kepercayaan memiliki kedudukan setara dengan agama-agama lainnya yang diakui secara konstitusional dan dijamin kemerdekaan beragama dan berkeyakinannya.
Pemangkasan hak-hak buruh/pekerja
RUU Cipta kerja sejatinya merupakan upaya revisi terhadap UU No 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, yang sejak 2006 sudah coba dilakukan pemerintah dan terus digagalkan gerakan pekerja/buruh. Sistem fleksibilitas tenaga kerja yang diandalkan pemerintah, asosiasi pengusaha, dan Bank Dunia merupakan fitur utama klaster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja yang akan diwujudkan dalam kemudahan rekrutmen dan Pemutusan Hubungan Kerja/PHK (easy hiring easy firing).
Nantinya pekerja/buruh akan diupah semurah mungkin dengan penghitungan upah per jam dan dilegalkannya pembayaran upah di bawah standar minimum di sebagian sektor ketenagakerjaan, serta status dan kepastian kerja tidak jelas lewat outsourcing dan kontrak kerja tanpa batasan waktu. Beberapa pasal yang bermasalahnya yaitu: Pasal 77A, Pasal 88C, Pasal 88B, Pasal 91, dan Pasal 93 dalam BAB IV Ketenagakerjaan.
Dengan adanya perubahan terhadap skema kepastian perlindungan status dan
hak buruh/pekerja, RUU Cipta Kerja berpotensi merentankan kondisi perekonomian kelompok pekerja yang notabenenya adalah kelompok masyarakat yang paling banyak ada di Indonesia hari ini. Kerentanan ekonomi kelompok pekerja berpotensi menurunkan daya beli, dan membuat macet sirkulasi ekonomi yang dapat menyebabkan Indonesia melangkah lebih cepat menuju jurang krisis perekonomian.
Potensi konflik agraria dan SDA/lingkungan hidup
Melalui RUU Cipta Kerja, ancaman kriminalisasi dan diskriminasi hak atas tanah
bagi petani dan masyarakat adat semakin menguat, karena pemerintah hendak
memperkuat Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan dan UndangUndang No. 18/2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU
P3H). Padahal, dua UU ini terbukti sudah banyak mengkriminalkan petani dan
masyarakat adat yang berkonflik dengan kawasan hutan.
Berdasarkan Catahu 2019 KPA, sepanjang tahun 2019 saja terjadi 259 kasus
penangkapan petani, masyarakat adat dan pejuang hak atas tanah. Jika
diakumulasi selama 5 tahun terakhir ada 1.298 kasus kriminalisasi terhadap
rakyat akibat mempertahankan hak atas tanah dan wilayah hidupnya. Misalnya
perubahan atas UU P3H (Pasal 82, 83 dan 84, yang ada di dalam pasal 38 UU
Cipta Kerja) soal ancaman pidana kepada orang-perorangan yang dituduh
melakukan penebangan pohon, memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, sengaja
atau tidak sengaja membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,
memotong dan membelah pohon tanpa perijinan dari pejabat yang berwenang
dalam kawasan hutan.
Pasal-pasal tersebut dapat dengan mudah digunakan untuk menjerat petani,
masyarakat adat, dan masyarakat desa yang masih berkonflik dengan
perusahaan atau negara akibat penunjukkan atau penetapan Kawasan hutan
secara sepihak. Lalu juga ada, perubahan pasal 15 UU Kehutanan, dalam pasal
37 RUU Cipta Kerja soal kemudahan proses pengukuhan kawasan hutan yang
dilakukan hanya dengan memanfaatkan teknologi informasi dan koordinat
geografis atau satelit. Perubahan UU di atas dapat menimbulkan kontradiksi
regulasi yang baru dengan putusan MK No. 35/2012, terkait putusan hutan adat
bukan lagi hutan negara dan putusan MK No. 95/2014 dimana masyarakat di
dalam hutan berhak menggarap tanah dan memanfaatkan hasil hutan untuk
kebutuhan sehari-hari. Selain itu UUPA 1960 pun menjamin hak dan akses
masyarakat untuk memperoleh manfaat dari hasil hutan.
Dalam RUU Cipta Kerja, uji kelayakan AMDAL dapat diserahkan kepada lembaga dan/atau ahli bersertifikat sebagaimana diatur dalam pasal 23 poin 4.
Permasalahannya adalah keputusan atau kebijakan yang berdampak lingkungan
diserahkan hanya kepada pihak swasta saja, tanpa ada peran pemerintah dan
masyarakat (secara formal). Selain itu juga ada penyempitan peran masyarakat
dalam perumusan AMDAL sebagaimana tertuang dalam pasal 23 poin 6.
Perubahan drastis ini berpotensi meningkatkan eskalasi konflik agraria, sumber
daya alam, dan lingkungan hidup. Tidak hanya masyarakat wilayah agraris yang
berpotensi tergusur kehidupannya, namun juga ruang ekologi penopang
kehidupan sekitarnya juga turut hancur.
Pemangkasan ruang penghidupan kelompok nelayan, tani, dan masyarakat
adat
Atas nama kepentingan pembangunan dan ekonomi, RUU Cipta Kerja menjadi
alat untuk merampas dan menghancurkan ruang hidup rakyat. Pasalnya, aturan
ini akan memberikan kemudahan bagi korporasi dan pemerintah untuk
merampas tanah dan sumber daya alam yang dikuasai masyarakat, baik
kelompok miskin kota, masyarakat adat, petani, dan nelayan. Akibatnya,
kelompok nelayan, tani, dan masyarakat adat berpotensi tidak memiliki ruang
penghidupan yang bebas dan berdaulat untuk menopang kehidupannya.
Melalui RUU Cipta Kerja (Pasal 129), Hak Pengelolaan (HPL) diterjemahkan
semakin menyimpang, yaitu sebagai pemberian jenis hak di atas tanah negara.
Melalui HPL, pemerintah seperti hendak menghidupkan kembali konsep domein
verklaring jaman kolonial, yang secara tegas sudah dihapus dalam UUPA 1960.
RUU Cipta Kerja juga menghapus pasal 16 UU Perkebunan (pasal 30 dalam RUU
Cipta Kerja), tentang kewajiban perkebunan untuk megusahakan lahan
perkebunannya dan menghapus sanksi bagi perusahaan yang tidak menjalankan
kewajibannya.
Dengan dihapusnya pasal 16 UU Perkebunan maka hal ini berpotensi menghilangkan status tanah terlantar yang merupakan salah satu syarat hapusnya HGU dalam UUPA. Dengan hilangnya status tanah terlantar maka berpotensi menghambat pelaksanaan reforma agraria dari wilayah perkebunan, mengingat salah satu obyek prioritas reforma agraria bagi rakyat adalah tanah-tanah (perkebunan) yang banyak diterlantarkan perusahaan.
Selain itu, RUU Cipta Kerja bermaksud melakukan perubahan terhadap UU No.
41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk
mempermudah proses alih fungsi lahan pertanian pangan untuk kepentingan
pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), real estate, tol, bandara, sarana
pertambangan dan energi. Kemudahan proses perizinan, seperti dihapusnya
keharusan kajian kelayakan strategis, rencana alih fungsi tanah dan kesesuaian
rencana tata ruang wilayah akan mempercepat terjadinya perubahan lanskap
tanah pertanian di Indonesia.
Kekuasaan birokratif yang tersentralisir di pusat berlawanan dengan semangat desentralisasi/otonomi daerah pasca 1998
Rencana pemerintah untuk mengalihkan semua kewenangan perizinan kepada
pemerintah pusat dalam RUU Cilaka tidak sesuai dengan semangat otonomi
daerah sebagai produk reformasi. Misalnya, RUU Cipta Kerja akan menarik
kewenangan pemerintah provinsi dalam mengelola mineral dan batubara,
termasuk kewenangan penerbitan peraturan daerah dan penerbitan izin.
Misalnya, Pasal 170 yang mengatur bahwa Peraturan Pemerintah dapat
digunakan untuk mengubah Undang-undang. Selain itu, ada Pasal 166 RUU
Cipta Kerja menyebutkan bahwa Peraturan Presiden bisa membatalkan Peraturan Daerah. Hal itu bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 56/PUU-XIV yang menyebutkan bahwa kewenangan tersebut bertentangan dengan konstitusi.
Kekuasaan birokrasi yang semakin tersentralisir menjadikan kewenangan
perizinan semakin terpusat di Pemerintah Pusat. Di sisi lain, kontrol Pemerintah
Pusat terhadap persoalan dan kondisi riil di daerah juga hingga hari ini tidak
begitu kuat. Sentralisasi kekuasaan birokrasi di Pemerintah Pusat ini akan
menjadikan kewenangan birokrasi perizinan semakin tidak cermat dan tidak
berangkat dari pengalaman serta realitas di daerah.
Selain dari potensi ancaman yang telah disebutkan di atas, secara formal tata
cara pengundangan, penyusunan RUU Cipta Kerja ini juga sebenarnya cacat prosedur.
Proses penyusunan RUU Cipta Kerja ini sangat mencederai hak partisipasi masyarakat, dimana peran partisipasi publik sangat minim untuk terlibat dan diterima masukan maupun pandangannya.
Sejak pembahasan Prolegnas, penyusunan draft oleh Kemenko Perekonomian RI, Naskah Akademik dan draf RUU hingga Pengambilan Keputusan Tingkat I (Pertama) memperlihatkan bahwa Pemerintah dan DPR RI sedang ‘mencuri’ momentum di tengah pembatasan sosial akibat Pandemi Covid-19 sekaligus melanggar Pasal 89 jo 96 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan yang mewajibkan Pemerintah untuk melibatkan partisipasi publik yang luas dan mudah kepada masyarakat dalam pembahahasan Rancangan Undang-undang (RUU).
Para pemuka agama ini menyadari bahwa ruh kehadiran agama dan kepercayaan bagi dunia adalah berdiri bagi kemaslahatan seluruh umat manusia dan alam-lingkungan, karena itulah sejatinya fitrah panggilan bagi agama dan kepercayaan hadir ke tengah-tengah dunia. Tidak ada keadilan yang dibangun di atas kezaliman. Untuk itu mereka menyatakan sikap menolak Omnibus law dan UU Cipta Kerja.[]