oleh: Roni Hardy*
Setiap orang tua sudah pasti menginginkan anak kesayangannya bisa lanjut studinya di perkuliahan setelah lulus dari SMA/SMK. Pendidikan adalah investasi nyata untuk masa depan dari si anak sendiri dan juga keluarganya. Pengaruh dari segi “pride” ketika nanti anaknya menyandang gelar sarjana, sampai saat ini masih menjadi sebuah social image yang bisa menjadi pembicaraan di lingkungan sosial sendiri, terutama bagi mereka yang berasal dari kampung. Jika anaknya berhasil jadi sarjana, keluarganya akan sangat bangga jika membicarakannya ke warga di kampungnya, dan bahkan ada juga yang mengadakan syukuran atas lulusnya anaknya dengan acara adat dan potong kambing/sapi, dan mengundang warga sekampung untuk ikut merayakannya.
Memastikan pendidikan anak sampai perguruan tinggi bukanlah sesuatu hal yang mudah, faktor utama yang menjadi perhitungan setiap orang tua adalah anggaran/biaya perkuliahannya. Tidak jarang juga setiap orang tua terpaksa pinjam uang ke bank atau ke saudaranya atau menjual hasil sawah dan ternaknya agar anaknya bisa kuliah di perguruan tinggi yang favorit pilihan anaknya sendiri. Tentunya ini menjadi sebuah dilema yang cukup memprihatinkan, bagaimana sebagai orang tua berjuang untuk anaknya bisa kuliah.
Namun, ada cara lain yang bisa dimanfaatkan calon mahasiswa untuk bisa masuk ke perguruan tinggi yaitu dengan cara mencari jalur beasiswa, atau memang dari jalur PMDK (Penelusuran Minat Dan Kemampuan) dari sekolah asal calon mahasiswa. Tapi jalur seperti ini pasti juga melalui hasil seleksi yang ketat juga dan tidak gampang, karena melihat nilai dari calon mahasiswa sendiri.
Melihat dari polemik seperti ini, ketika sudah menjadi mahasiswa pun, para orang tua juga masih berjuang untuk bisa membiayai perkuliahan anaknya sampai lulus. Faktanya, banyak mahasiswa yang berhenti perkuliahannya di tengah jalan karena alasan biaya, orang tuanya tidak sanggup lagi membiayai perkuliahan anaknya. Tentunya ini menjadi hal yang sangat disayangkan dan mengiris hati kita semua. Bagaimana tidak, karena cita-cita anaknya “pupus” dan juga diiringi oleh cita-cita orang tuanya yang ingin melihat anaknya jadi sarjana juga ikut “pupus”. Atas dasar rasa kemanusiaan dan kepedulian inilah, seharusnya setiap perguruan tinggi perlu membuat program yang dapat membantu kehidupan mahasiswanya. Memang sejauh ini sudah ada beasiswa yang diprogramkan oleh perguruan tinggi sendiri, namun implementasinya terkadang kurang maksimal, terutama dalam seleksi kategori mahasiswanya.
Untuk menopang bantuan beasiswa ini, perguruan tinggi perlu mennyesuaikan jenis bantuan lain yang manfaatnya bisa langsung dirasakan oleh mahasiswa dan keluarganya, yaitu memberikan Dana Sosial bagi mahasiswa yang secara ekonomi keluarganya memang kurang mampu. Program ini tentunya diharapkan selain dapat menanggulagi biaya kuliah juga dapat menutupi biaya kebutuhan sehari-hari selama kuliah, sehingga bisa menumbuhkan motivasi mahasiswanya untuk menyelesaikan studi. Namun, program ini perlu disusun dengan rapi untuk “policy” nya, dimulai dari tahap formulasi, implementasi dan terakhir evaluasinya nanti bagaimana, dan yang terpenting adalah proses kontrolnya agar program bantuan dana sosial ini dapat efektif berjalan dan memang betul tersalurkan kepada mahasiswa-mahasiswa yang membutuhkan. Saya harap semua perguruan tinggi di Indonesia bisa membuat program Dana Sosial ini bagi mahasiswa yang membutuhkan. Nasib mereka adalah tergantung kepedulian kita, sebagai makhluk sosial kita memang patut membantu sesama. Salam Cerah Pendidikan Indonesia!
*Penulis adalah Ketua Ikatan Keluarga Alumni Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Andalas