Oleh: Nindya Raihan Zani*
Dewasa ini, banyak fenomena yang terjadi di arena politik internasional. Mulai dari persaingan yang terjadi antar dua kekuatan dunia saat ini yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok, peranan World Health Organization (WHO) dalam menangani penyebaran COVID-19 di berbagai belahan dunia, hingga yang terbaru konflik antara Rusia dan Ukraina. Beberapa fenomena internasional tersebut telah berhasil menarik perhatian masyarakat dunia untuk lebih mengetahui isu-isu serta fenomena internasional lainnya. Fenomena tersebut semakin dibicarakan oleh masyarakat awam seiring dengan perkembangan media sosial yang sangat masif pada saat ini. Menurut data We Are Social yang dilansir dataindonesia.id, jumlah pengguna media sosial aktif di Indonesia sendiri setidaknya mencapai 191 juta pada bulan Januari 2022. Dengan jumlah yang sebanyak itu, setiap fenomena internasional yang terjadi mudah diketahui oleh khalayak ramai.
Sebagai masyarakat yang hidup di era globalisasi, sudah sewajarnya bagi kita untuk mengikuti berbagai dinamika politik yang terjadi di dunia internasional. Hal itu tidak hanya bermanfaat sebagai wawasan, namun juga dapat melatih kemampuan berpikir kita untuk menganalisis setiap kejadian yang terjadi baik di sekitar kita atau di dunia internasional. Sebagai masyarakat yang bijak, kita dapat memanfaatkan fenomena internasional yang sedang terjadi sebagai bahan analisis bagi kita untuk mempertajam kemampuan berpikir kritis. Seperti yang kita ketahui, bahwa kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu kemampuan yang sangat krusial di era revolusi industri 4.0 saat ini.
Salah satu studi yang dapat mengasah kemampuan berpikir kritis kita adalah studi Hubungan Internasional. Studi Hubungan Internasional sendiri telah hadir sejak zaman pra-modern yang ditandai dengan karya-karya sejarawan Yunani seperti Thucydides yang berjudul The Peloponessian War pada tahun 400-460 Sebelum Masehi dan karya Sun Tzu yang berjudul The Art of War pada tahun 512 Sebelum Masehi. Studi Hubungan Internasional semakin berkembang pesat terutama di Eropa ketika lahirnya Perjanjian Westphalia pada tahun 1648 yang berisi mengenai pemisahan agama dari politik dan pemberian hak-hak bagi negara-bangsa agar dapat menjalankan kedaulatan dalam batas teritorial tertentu. Seiring berjalannya waktu, studi Hubungan Internasional kemudian lahir sebagai sebuah studi yang berdiri sendiri pada tahun 1919 di Inggris ketika Sir Alfred Zimmern yang merupakan seorang pakar dan salah satu konseptor pendirian Liga Bangsa-Bangsa diangkat sebagai Guru Besar di Universitas Wales di Aberyswyth. Sejak berdirinya studi Hubungan Internasional di Inggris, studi ini mulai dipelajari di berbagai benua seperti Amerika, Asia, dan Afrika. Di berbagai benua tersebut, mulai bermunculan berbagai universitas-universitas yang mempelajari studi Hubungan Internasional.
Dalam studi Hubungan Internasional, terdapat berbagai teori dan konsep yang dapat dimanfaatkan dalam menganalisa fenomena internasional yang terjadi saat ini. Dalam studi Hubungan Internasional, terdapat tiga teori besar atau yang biasanya dikenal dengan Grand Theory. Teori pertama adalah Realisme. Realisme merupakan sebuah teori yang melihat bahwa sistem internasional bersifat anarki. Anarki merupakan sebuah keadaan dimana tidak ada pihak tertinggi yang dapat mengatur bahkan menguasai sebuah sistem. Realisme percaya bahwa sistem internasional yang anarki ini didorong dengan sifat manusia yang egois (Selfish). Dengan adanya sifat egois tersebut mendorong manusia untuk berlomba-lomba dalam memaksimalkan kekuatan mereka agar menjadi penguasa atau pemimpin. Sifat egois ini juga dapat menjadi penyebab terjadinya konflik bahkan perang. Realisme juga beranggapan bahwa dalam sistem internasional, negara merupakan aktor tunggal yang berarti tidak adanya eksistensi dari entitas yang lain. Dalam realisme, kita juga akan memahami bahwa perilaku-perilaku negara di sistem internasional didorong oleh kepentingan nasional yang kuat dalam memutuskan kebijakan luar negeri atau melakukan sebuah tindakan tertentu.
Teori kedua yang dapat dipelajari dalam studi Hubungan Internasional adalah Liberalisme. Liberalisme merupakan sebuah teori yang berfokus pada pencapaian perdamaian bagi sistem internasional. Berbeda dengan realisme, liberalisme melihat bahwa sebenarnya negara bukanlah satu-satunya aktor yang dapat berperan dalam sistem internasional, melainkan adanya aktor non-negara seperti organisasi internasional hingga masyarakat. Liberalisme lebih berfokus kepada hal-hal yang sifatnya low politicsseperti Hak Asasi Manusia (HAM), peran dari kelompok masyarakat sipil (Civil Society), serta keadilan global. Liberalisme percaya bahwa untuk menciptakan perdamaian dunia, maka dibutuhkan kerja sama atau sinergi dari berbagai aktor yang tidak hanya berpusat pada negara saja. Teori ketiga adalah Konstruktivisme. Konstruktivisme sebenarnya merupakan sebuah perspektif baru yang lahir dalam studi Hubungan Internasional. Dalam konstruktivis, kita dapat memahami bahwa yang terjadi di sistem internasional bukanlah peristiwa mutlak yang memang terjadi, namun merupakan hasil dari konstruktsi pemikiran manusia itu sendiri. Sederhananya, konstruktivisme melihat hubungan internasional sebagai sebuah proses belajar yang terjadi terus-menerus yang dikonstruksi oleh manusia itu sendiri.
Selain dari ketiga teori di atas, masih banyak beberapa perspektif yang disuguhkan dalam studi Hubungan Internasional yang dapat kita pahami dalam menganalisa fenomena-fenomena yang terjadi di dunia internasional. Kehadiran berbagai perspektif di studi Hubungan Internasional tidak semata-mata hanya berfokus pada dinamika negara-negara di sistem internasional, namun perspektif tersebut juga dibuat untuk dapat memahami kondisi sosial masyarakat. Salah satunya dapat kita lihat dari keberadaan perspektif Marxisme, yang berawal dari Karl Marx. Dalam Marxisme, adanya perbedaan kelas yang terjadi sehingga menghasilkan dua tipe masyarakat dalam kondisi sosial yaitu kaum Borjuis dan kaum Proletar. Menurut Karl Marx, kondisi yang dialami oleh kaum Proletar sebagai kaum yang tertindas merupakan dampak dari sistem kapitalis yang dilakukan oleh kaum Borjuis, sehingga menimbulkan keterasingan bagi kaum Proletar itu sendiri. Dengan memahami perspektif Marxisme, sebenarnya kita dapat melihat bahwa masih banyak fenomena-fenomena yang terjadi baik itu di sekitar kita maupun di dunia internasional yang merepresentasikan keberadaan perpektif tersebut. Di zaman modern saat ini, mungkin saja perbedaan kelas sosial masih terjadi hingga saat ini dimana banyaknya pekerja yang ingin mendapatkan upah sesuai dengan usaha yang mereka lakukan, namun belum mendapatkan upah yang semestinya harus mereka terima. Fenomena-fenomena seperti ini juga menjadi perhatian bagi studi Hubungan Internasional karena pada dasarnya studi Hubungan Internasional dapat mempelajari ilmu politik dan ilmu sosial.
Dengan memahami beberapa perspektif dalam studi Hubungan Internasional, kita dapat menggunakan perpsektif tersebut dalam melihat mengapa sebuah fenomena internasional terjadi. Apakah karena kepentingan sebuah negara? Apakah karena keinginan kuat negara dalam menguasai sistem internasional, sehingga mengeluarkan kebijakan luar negeri? atau justru untuk menciptakan perdamaian internasional? Semua pertanyaan yang mungkin terlintas dalam pikiran kita ketika membaca satu berita internasional dapat terjawab dengan mengenal dan memahami lebih dalam perspektif-perspektif yang ada di dalam Hubungan Internasional. Dalam belajar Hubungan Internasional, kita akan dibiasakan untuk mencari “masalah”. Masalah disini memiliki makna apa yang terjadi di dunia saat ini? Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah dampak dari masalah tersebut bagi masyarakat? Ketika ketika menemukan anomali atau keanehan dari masalah tersebut, kita dituntut untuk menganalisanya secara mendalam dan melihat dinamika apa saja yang terjadi dalam masalah tersebut. Tentunya, untuk menganalisa masalah tersebut kita menggunakan perspektif-perspektif dalam studi Hubungan Internasional. Oleh karena itu, studi Hubungan Internasional merupakan salah satu studi yang dapat melatih ketajaman berpikir seorang manusia dalam melihat masalah-masalah yang terjadi.
Dalam studi Hubungan Internasional, diplomasi menjadi kata yang paling sering kita dengar dan kita pelajari. Diplomasi merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh seorang individu, organisasi, dan negara untuk dapat mencapai kepentingannya. Diplomasi bisa juga dilakukan untuk mengajak semua elemen internasional untuk berkontribusi dalam menciptakan perdamaian dunia. Diplomasi sendiri dapat kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya ketika membeli suatu barang. Ketika kita menginginkan barang tersebut dengan harga yang terjangkau, tentu kita harus menawarnya kepada penjual. Upaya-upaya yang kita lakukan untuk dapat membujuk penjual tersebut agar memberikan harga yang sesuai dengan yang kita inginkan tersebut dapat menjadi contoh dari kegiatan diplomasi. Negara-negara akan berupaya untuk memaksimalkan kemampuan para diplomatnya agar dapat mencapai kepentingan sesuai yang telah direncanakan.
Dengan mempelajari studi Hubungan Internasional, ketika kita membaca berita-berita internasional, kita akan menjadi pribadi yang lebih kritis dalam menanggapi berbagai fenomena yang terjadi. Kita lebih terbiasa untuk menganalisis perilaku negara dalam fenomena tersebut. Kita akan melihat bagaimana peristiwa tersebut dapat terjadi dan menganalisanya untuk mencari penyebab peristiwa tersebut. Dengan kemampuan analisa sebuah kasus, kita akan lebih mudah memilah berita yang benar atau yang salah. Tidak hanya menganalisa sebuah fenomena, dengan memahami studi Hubungan Internasional kita dapat berperan sebagai agen perubahan terutama bagi mahasiswa. Kita dapat berperan sebagai aktor non-negara yang turut aktif dalam studi Hubungan Internasional, misalnya aktif dalam pertemuan internasional yang yang dapat menjadi sarana dalam menuangkan ide-ide dan pemikiran kreatif kita agar dapat menciptakan sebuah perubahan ke arah yang lebih baik. Kita dapat menjadi agen advokasi dalam menyuarakan isu-isu internasional yang penting untuk kita pahami saat ini, salah satunya isu perubahan lingkungan. Ketika kita memahami mengapa perubahan lingkungan terjadi sambil menganalisisnya menggunakan pandangan dalam studi Hubungan Internasional, kita akan lebih mudah mengajak masyarakat untuk sadar bahwa sebenarnya isu perubahan lingkungan bukanlah isu yang biasa. Dengan terbiasa menganalisa sebuah studi kasus, kita akan menjadi pribadi yang lebih kritis terhadap suatu permasalahan, kita juga dapat menghasilkan solusi-solusi yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain demi terwujudnya kemaslahatan bagi masyarakat maupun dunia.
*Penulis adalah Mahasiswa Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas (UNAND), di bawah bimbingan dosen Virtuous Setyaka, S.IP., M.Si.
Referensi:
Bob Sugeng Hadiwinata, “Studi dan Teori Hubungan Internasional: Arus Utama, Alternatif, dan Reflektivis”, (Yayasan Pustaka Obor Indonesia: Jakarta, 2017).
M. Syaprin Zahidi, “Pemikir-pemikir Marxis dalam Hubungan Internasional”, Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional, No.1, Vol.10, (2014), hal. 25.
Selamat Nindya, terus produktif ya…kita masih membutuhkan generasi baru untuk mengembangkan keilmuan ke depan yang selalu aplikatif…terus belajar PRAXIS ya…