Oleh: Mikhail Adam*
(Tulisan kedua mengenai Ghassan Kanafani)
Ghassan Kanafani memiliki umur yang terbilang pendek. Lahir pada 9 April 1936 di Acre dan wafat pada 8 Juli 1972. Atau mati saat umur 36 tahun. Rentang waktu yang pendek sebagai seorang penulis, novelis, dan aktivis politik. Sesuatu yang melekat pada dirinya. Namun itu tak menghalangi dia untuk dikenang sebagai tokoh revolusioner Palestina.
Karena aktivitas revolusionernya Kanafani dibunuh dengan cara yang tak wajar oleh Israel. Mossad, intelejen Israel menanamkan bom di mobil Austin abu-abu miliknya. Bom yang meledak saat mesin dinyalakan itu merenggut nyawa Kanafani.
Ledakan itu menandai kematian Kanafani bersamaan dengan menjelaskan siapa sesungguhnya dirinya. Seperti kata petuah bijak, jika ingin mengetahui nilai sejati seseorang, lihatlah kematiannya. Singkatnya Ghassan Kanafani adalah seorang penulis dan pejuang yang paripurna.
Sebagai salah satu ikon pergerakan. Hari kematiannya terus diperingati setiap tahun oleh bangsa Palestina. Ada penghormatan khusus untuk seorang Ghassan Kanafani.
Palestinian Youth Movement menegaskan warisan Kanafani akan senantiasa hidup. “Kami tidak akan pernah menyerah dalam perjuangan dan pembebasan Palestina.” Itu diungkapkan saat haul Ghassan Kanafani ke-50 dan tahun ketujuh beasiswa Ghassan Kanafani.
Lantas kepingan-kepingan tentang dirinya ini yang membuatnya menjadi misteri dan memancing rasa penasaran.
Tentang seseorang yang hidupnya singkat tetapi terkenang dan menginspirasi. Seseorang yang memiliki tempat khusus dalam sejarah sastra Palestina dan perjuangan rakyat Palestina itu sendiri.
Tulisan ini hendak mengurai sosok Ghassan Kanafani dari sudut pandang yang lain. Kanafani sebagai seorang guru. Seorang guru muda yang berupaya memahami realita negeri dan bangsanya.
Ghassan Kanafani bersama keluarganya menjadi bagian dari orang-orang Palestina yang terusir dari Tanah Airnya saat peristiwa Nakba. Posisi itu membuatnya menjalani hidup sebagai seorang pengungsi. Mengungsi ke Damaskus, kemudian Beirut, hingga Kuwait. Kanafani pernah hidup tanpa status kewarganegaraan dalam pusaran diaspora itu. Rentetan peristiwa ini menempa kesadaran politik bagi Kanafani.
Kanafani mengenyam pendidikan di sekolah misionaris Katolik Prancis di Jaffa. Kemudian melanjutkan ke pendidikan menengah dan mendapat sertifikat pengajar dari UNRWA untuk mengajar di sekolah pengungsi. Ia menjadi guru seni untuk sekitar 1.200 anak Palestina di kamp pengungsi.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>