
Bagi Kanafani, terusir dari Tanah Air dan menjadi pengungsi adalah realitas yang membentuk dirinya. Bersamaan dengan panggilan suci menempuh jalan perjuangan. Pembebasan Palestina.
Ghassan Fayiz Kanafani lahir di Acre, Palestina tahun 1936. Dia masih berusia 12 tahun kala dirinya dan keluarganya diusir dari Palestina saat peristiwa Nakba pada tahun 1948. Nakba adalah hari bencana. Tragedi terusirnya ratusan ribu orang Palestina dari Tanah Airnya.
Ini menjadi malapetaka yang memilukan bagi bangsa Palestina, sebagai individu dan kolektif. Momen itu menyajikan pemandangan gamblang antara penindas dan yang ditindas, dalam hal ini bangsa Palestina yang dijajah Israel dalam benak Kanafani kecil. Ini pula yang menjadikan kesadaran atas tragedi itu melekat dalam dirinya.
Setelah peristiwa kelam itu, hidupnya berada dalam pusaran diaspora. Perjalanan hidupnya melintasi Damaskus, singgah ke Kuwait, hingga Beirut. Damaskus menjadi rute penting bagi Kanafani. Di kota ini ia melanjutkan pendidikannya di Universitas Damaskus. Menempuh studi Sastra Arab yang tak pernah diselesaikannya.
Momen berkesan lain di Damaskus adalah saat ia bekerja di sebuah percetakan. Pekerjaan yang mendekatkannya dengan buku-buku. Sesuatu yang membuatnya berjabat erat dengan membaca dan menulis sebagai sikap budaya. Pagi ia menunaikan pekerjaannya di percetakan. Pada malam hari ia giat membaca buku-buku.
Bagi Kanafani, terusir dari Tanah Air dan menjadi pengungsi adalah realitas yang membentuk dirinya. Bersamaan dengan panggilan suci menempuh jalan perjuangan. Pembebasan Palestina.
Gejolak itu yang membawanya menulis dengan serius. Dalam artian menulis sebagai bagian dari perjuangan Palestina.
Salah satu karya tulis di masa awal kepenulisannya adalah tulisan berjudul ‘ The Land of Sad Oranges (1962).’ Lewat karya ini Kanafani menarasikan peristiwa Nakba dari sudut pandang anak-anak. Sesuatu yang menjadi bagian dalam dirinya, kala ia harus terusir dari Tanah Kelahirannya, Palestina.
Ia menggambarkan pengusiran itu dengan, ‘Yang lain’ yang menyapu bangsa Palestina dari Tanah Airnya. Penggambaran ‘Yang lain’ ini adalah para zionis yang menyerang Palestina. Invasi Zionis ini menjadi alasan di balik pengungsian orang-orang Palestina.
Berikutnya dengan kiasan yang menyayat hati ia menuliskan, “Kita berjejal di sini, terenggut dari masa kecil kita, jauh dari negeri jeruk. Jeruk yang mati, tepat seperti yang dikatakan seorang petani tua pada kita, jeruk akan mati ketika tangan-tangan asing yang menyiraminya.”
‘The Land of Sad Oranges’ atau ‘Negeri Jeruk yang Sedih’ adalah gambaran negeri Palestina yang diterpa nestapa. Sebuah malapetaka bagi orang-orang Palestina karena dipisahkan dari Tanah Airnya.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>
Kanafani bukan sekadar penulis, ia pejuang yang menjadikan pena sebagai senjata. Karya-karyanya seperti The Land of Sad Oranges adalah jeritan kolektif bangsa Palestina yang dirampas tanah dan masa kecilnya. Seperti katanya, “Penulis yang tidak punya persoalan dengan masyarakatnya, adalah penulis yang tidak punya masalah apa-apa untuk ditulis.” Sebuah warisan keberanian dalam bentuk kata.
Kisah dari GHASAN Kaffani mengkisahkan tentang awal penjajahan Israel di Palestina yaitu peristiwa Nakba. Peristiwa Nakba adalah pengusiran dan pembunuhan tentara Israel kepada warga asli Palestina. Tentara Israel membunuh rakyat Palestina seperti serigala yang menerkam mangsanya tanpa belas kasihan.
Dalam keterusirannya beliau menjadi penulis dan lewat tulisanya beliau membela tanah air nya
Semoga Palestina segera merdeka. Semoga para pengungsi Palestina bisa kembali ke Palestina, membangun negerinya kembali.
Sungguh begitu menggugah dan mendalam, tidak hanya mengenalkan Ghassan Kanafani sebagai tokoh perjuangan, tapi juga menyelami sisi kemanusiaan dan luka bangsa Palestina. Narasi tentang “negeri jeruk yang sedih” sungguh puitis sekaligus pedih mewakili kehilangan, harapan, dan perlawanan. Sebuah karya yang membuka mata dan menyentuh nurani.
Semua proses workshop FPN hari ini membuat kita semakin sadar atas potensi kita dalam berkarya dan berperan sesuai posisi kita masing2, apa lagi dgn tujuan yg tegas dan kuat yakni kemerdekaan PALESTINA. Sbg mahasiswa, sbg seniman, karya akan terbentuk sesuai cerminan jiwa yg kita miliki. Maka berkaryalah dengan persembahan dari jiwa.
Membaca dan menulis adalah sikap budaya. Pagi hari Kanafani bekerja di percetakan dan malam hari ia giat membaca buku-buku.
Potret seorang tokoh seniman dan budayawan pejuang yg menyuarakan kemerdekaan bangsanya lewat passionnya.
Membaca sejarah/kisah Palestina dalam bentuk cerita (novel) memberikan sensasi yang luar biasa dahsyatnya. Ilmunya dapat
Ghassan Kanafani ternyata memberikan saya stimulus akan perjuangan yang tidak harus berada di Palestina namun diluar wilayah palestina juga harus terus berjuang untuk palestina dengan metode apapun yang terus memberikan penguatan pada perjuangan tentang kebebasan warga Palestina
Terusir dari tanah sendiri. Terusir dari rumah sendiri. Memang bagi kita yang tak merasakannya akan menganggap hal yang terjadi di Palestina saat ini biasa biasa saja. Tapi dengan empati dan rasa kemanusiaan dalam diri, maka kita akan tau betapa sakit dan perih yang dirasakan oleh saudara saudara kita di Palestina
Luar biasa. Salah satu contoh resiliensi bangsa Palestina bisa ditemukan di diri Kanafani. Menulis bukan hanya menjadi senjata dalam melawan musuh namun pada diri Kanafani ini menjadi bukti pengabdian kepada negara serta pembuktian siapa sebenarnya “impostor” yang mengaku sebagai penduduk asli ini.
Kanafani, memulai perjalanan hidupnya sebagai pejuang ketika berumur 12 tahun, dimana pada umurnya yang masih anak-anak ini, dimana hidup anak-anak sebayanya di negara yang berbeda adalah masa-masa bermain dan bergembira ria, tetapi Kanafani malah terusir dari kampung halamannya. Peristiwa Nakba tahun 1948 adalah sebuah tragedi kemanusiaan, Kanafani masuk sebagai salah satu anak dan keluarga yang terusir.
Karakter Kanafani digambarkan dalam kalimat, “Bagi Kanafani, terusir dari Tanah Air dan menjadi pengungsi adalah realitas yang membentuk dirinya. Bersamaan dengan panggilan suci menempuh jalan perjuangan. Pembebasan Palestina. Gejolak itu yang membawanya menulis dengan serius. Dalam artian menulis sebagai bagian dari perjuangan Palestina”.
Kanafani memberikan gambaran kepada kita bahwa “mengalami” pada situasi tertentu akan membentuk karakter dan kepribadian seseorang. Apakah pembelaan kita terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina yang sekedar mengetahui bisa berubah menjadi mengalami? agar pengetahuan kita tidak sekedar menjadi kesadaran tetapi bisa menggerakkan.
Saya sebagai seorang ibu begitu tersentuh dengan artikel ini, khusunya pada bagian:
” Sedangkan Kanafani dalam ‘Ummu Sa’ad’ mendedah peran sosial perempuan dari yang semula tradisional kepada citra revolusioner. Ummu Sa’ad dicitrakan menjadi seorang ibu yang mendorong langsung putra-putranya ikut memanggul perjuangan kemerdekaan. Bahkan dengan kerelaan dan kebesaran hati bangga jika anaknya menjadi martir. Dalam bagian ‘perbedaan dua tenda,’ sebagai ibu ia berharap memiliki 10 anak lagi agar dapat membantu perjuangan Palestina.”.
Ya, sebagai seorang ibu, ternyata para ibu di Palestina begitu revolusioner dan berpikiran maju. Bukan hanya berhenti pada naluri kasih sayang ibu dalam menyayangi anaknya, namun bahkan hingga berjuang untuk dapat melahirkan banyak anak-anak yang kelak menjadi pejuang kemerdekaan, bahkan, bangga saat anak-anak mereka menjadi martir saat memperjuangkan kemerdekaan.
Tulisan ini begitu sarat makna, yang sepertinya tidak cukup dibaca hanya sekali dua kali, untuk kita dapat menyelami makna dan hikmah dari setiap karya yang dihasilkan Kanafani.