Kanafani yang terinspirasi dari Gorky menguraikan dengan indah tentang relasi penting ibu dan anak dalam sebuah nafas perjuangan kemerdekaan. Dalam hal ini ibu dan anak tak sebatas diikat oleh ikatan darah, melainkan oleh gerakan revolusioner dan pembebasan Palestina sebagai sebuah bangsa.
Karyanya yang paling fenomenal adalah ‘Men in The Sun.’ Novel ini dengan apik melukiskan tentang tragedi yang merundung Palestina. Termuat dalam tulisan ini kisah tentang supir truk bernama Abu Khaizaran yang membantu ketiga orang Palestina untuk melewati perbatasan. Untuk dapat lolos dari pos penjagaan ketiga pemuda itu disembunyikan di tangki kosong di belakang truk. Melintasi gurun pasir yang panas menyengat, alih-alih menjadi tempat pertolongan tangki air berubah menjadi tempat panggangan. Dan ketika berhasil melewati pos penjagaan dan membuka tangki, Abu Khaizaran mendapati ketiga pemuda itu sudah tak bernyawa.
Akhir cerita dalam buku ‘Men in The Sun’ itu Kanafani menggurat pertanyaan yang memantik perenungan. “Mengapa mereka tidak menggedor tembok?” Dalam hal ini mereka mati bukan karena terbakar panas matahari, melainkan kesunyian mereka sendiri. Sesuatu yang menggambarkan kekalahan politik dalam masyarakat Arab dan ketertindasan Palestina.
Selanjutnya karyanya yang menandai evolusi kesadaran politik Kanafani adalah karya berjudul ‘Ummu Sa’d (1969).’ Kisah Ibu revolusioner sekaligus membentangkan keterwakilan perempuan dalam perjuangan pembebasan Palestina.
Serupa dengan novel Maxim Gorky, ‘Ibunda.’ Jika Maxim Gorky menggambarkan Pellagia Nilovna sebagai ibu dari seorang buruh bernama Pavel Michailovitsj. Nilovna menaruh simpati besar dan dukungan atas perjuangan anaknya, sebagai aktivis pergerakan. Lebih jauh Nilovna ikut andil dalam pembagian selebaran agitasi ke massa buruh tani . Keterlibatan ini membuatnya ditangkap aparat militer. Alih-alih mengendur semangat juangnya, Nilovna dengan lantang berteriak, “Bahkan samudera darah pun takkan mampu menenggelamkan kebenaran”.
Sedangkan Kanafani dalam ‘Ummu Sa’ad’ mendedah peran sosial perempuan dari yang semula tradisional kepada citra revolusioner. Ummu Sa’ad dicitrakan menjadi seorang ibu yang mendorong langsung putra-putranya ikut memanggul perjuangan kemerdekaan. Bahkan dengan kerelaan dan kebesaran hati bangga jika anaknya menjadi martir. Dalam bagian ‘perbedaan dua tenda,’ sebagai ibu ia berharap memiliki 10 anak lagi agar dapat membantu perjuangan Palestina.
Kanafani yang terinspirasi dari Gorky menguraikan dengan indah tentang relasi penting ibu dan anak dalam sebuah nafas perjuangan kemerdekaan. Dalam hal ini ibu dan anak tak sebatas diikat oleh ikatan darah, melainkan oleh gerakan revolusioner dan pembebasan Palestina sebagai sebuah bangsa.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>
Kanafani bukan sekadar penulis, ia pejuang yang menjadikan pena sebagai senjata. Karya-karyanya seperti The Land of Sad Oranges adalah jeritan kolektif bangsa Palestina yang dirampas tanah dan masa kecilnya. Seperti katanya, “Penulis yang tidak punya persoalan dengan masyarakatnya, adalah penulis yang tidak punya masalah apa-apa untuk ditulis.” Sebuah warisan keberanian dalam bentuk kata.
Kisah dari GHASAN Kaffani mengkisahkan tentang awal penjajahan Israel di Palestina yaitu peristiwa Nakba. Peristiwa Nakba adalah pengusiran dan pembunuhan tentara Israel kepada warga asli Palestina. Tentara Israel membunuh rakyat Palestina seperti serigala yang menerkam mangsanya tanpa belas kasihan.
Dalam keterusirannya beliau menjadi penulis dan lewat tulisanya beliau membela tanah air nya
Semoga Palestina segera merdeka. Semoga para pengungsi Palestina bisa kembali ke Palestina, membangun negerinya kembali.
Sungguh begitu menggugah dan mendalam, tidak hanya mengenalkan Ghassan Kanafani sebagai tokoh perjuangan, tapi juga menyelami sisi kemanusiaan dan luka bangsa Palestina. Narasi tentang “negeri jeruk yang sedih” sungguh puitis sekaligus pedih mewakili kehilangan, harapan, dan perlawanan. Sebuah karya yang membuka mata dan menyentuh nurani.
Semua proses workshop FPN hari ini membuat kita semakin sadar atas potensi kita dalam berkarya dan berperan sesuai posisi kita masing2, apa lagi dgn tujuan yg tegas dan kuat yakni kemerdekaan PALESTINA. Sbg mahasiswa, sbg seniman, karya akan terbentuk sesuai cerminan jiwa yg kita miliki. Maka berkaryalah dengan persembahan dari jiwa.
Membaca dan menulis adalah sikap budaya. Pagi hari Kanafani bekerja di percetakan dan malam hari ia giat membaca buku-buku.
Potret seorang tokoh seniman dan budayawan pejuang yg menyuarakan kemerdekaan bangsanya lewat passionnya.
Membaca sejarah/kisah Palestina dalam bentuk cerita (novel) memberikan sensasi yang luar biasa dahsyatnya. Ilmunya dapat
Ghassan Kanafani ternyata memberikan saya stimulus akan perjuangan yang tidak harus berada di Palestina namun diluar wilayah palestina juga harus terus berjuang untuk palestina dengan metode apapun yang terus memberikan penguatan pada perjuangan tentang kebebasan warga Palestina
Terusir dari tanah sendiri. Terusir dari rumah sendiri. Memang bagi kita yang tak merasakannya akan menganggap hal yang terjadi di Palestina saat ini biasa biasa saja. Tapi dengan empati dan rasa kemanusiaan dalam diri, maka kita akan tau betapa sakit dan perih yang dirasakan oleh saudara saudara kita di Palestina
Luar biasa. Salah satu contoh resiliensi bangsa Palestina bisa ditemukan di diri Kanafani. Menulis bukan hanya menjadi senjata dalam melawan musuh namun pada diri Kanafani ini menjadi bukti pengabdian kepada negara serta pembuktian siapa sebenarnya “impostor” yang mengaku sebagai penduduk asli ini.
Kanafani, memulai perjalanan hidupnya sebagai pejuang ketika berumur 12 tahun, dimana pada umurnya yang masih anak-anak ini, dimana hidup anak-anak sebayanya di negara yang berbeda adalah masa-masa bermain dan bergembira ria, tetapi Kanafani malah terusir dari kampung halamannya. Peristiwa Nakba tahun 1948 adalah sebuah tragedi kemanusiaan, Kanafani masuk sebagai salah satu anak dan keluarga yang terusir.
Karakter Kanafani digambarkan dalam kalimat, “Bagi Kanafani, terusir dari Tanah Air dan menjadi pengungsi adalah realitas yang membentuk dirinya. Bersamaan dengan panggilan suci menempuh jalan perjuangan. Pembebasan Palestina. Gejolak itu yang membawanya menulis dengan serius. Dalam artian menulis sebagai bagian dari perjuangan Palestina”.
Kanafani memberikan gambaran kepada kita bahwa “mengalami” pada situasi tertentu akan membentuk karakter dan kepribadian seseorang. Apakah pembelaan kita terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina yang sekedar mengetahui bisa berubah menjadi mengalami? agar pengetahuan kita tidak sekedar menjadi kesadaran tetapi bisa menggerakkan.
Saya sebagai seorang ibu begitu tersentuh dengan artikel ini, khusunya pada bagian:
” Sedangkan Kanafani dalam ‘Ummu Sa’ad’ mendedah peran sosial perempuan dari yang semula tradisional kepada citra revolusioner. Ummu Sa’ad dicitrakan menjadi seorang ibu yang mendorong langsung putra-putranya ikut memanggul perjuangan kemerdekaan. Bahkan dengan kerelaan dan kebesaran hati bangga jika anaknya menjadi martir. Dalam bagian ‘perbedaan dua tenda,’ sebagai ibu ia berharap memiliki 10 anak lagi agar dapat membantu perjuangan Palestina.”.
Ya, sebagai seorang ibu, ternyata para ibu di Palestina begitu revolusioner dan berpikiran maju. Bukan hanya berhenti pada naluri kasih sayang ibu dalam menyayangi anaknya, namun bahkan hingga berjuang untuk dapat melahirkan banyak anak-anak yang kelak menjadi pejuang kemerdekaan, bahkan, bangga saat anak-anak mereka menjadi martir saat memperjuangkan kemerdekaan.
Tulisan ini begitu sarat makna, yang sepertinya tidak cukup dibaca hanya sekali dua kali, untuk kita dapat menyelami makna dan hikmah dari setiap karya yang dihasilkan Kanafani.