Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diharapkan memberikan kontribusi positif pada keuangan negara ternyata kondisinya justru sebaliknya, banyak mengeruk uang negara dan jadi beban fiskal.
Dari 91 perusahaan BUMN kita yang terdiri dari 12 Perusahaan Umum (Perum) dan 79 Perseroan, ternyata pada tahun tutup buku 2021 hanya memberikan target setoran laba kepada negara dari sumber kekayaan negara dipisah (KND) sebesar Rp. 37,1 trilyun dimana baru disetor sebesar Rp. 35,5 trilyun pada sementer I tahun 2022 ini.
Padahal, dari subsidi pemerintah untuk BUMN itu jumlahnya sangat besar sekali. Sebut saja salah satunya misalnya subsidi bunga untuk perbankkan besarnya tahun 2021 adalah sebesar Rp. 30,1 trilyun.
Hal yang memprihatinkan lagi, BUMN andalan yang diharapkan memberikan setoran ke negara adalah dari perbankan. Padahal perbankan BUMN itu justru yang banyak mendapatkan subsidi dan juga bentuk insentif lainya berupa modal penyertaan, dana penempatan, dana restrukturisasi, dan lain lain.
Padahal, BUMN perbankan adalah perusahaan go public, dimana artinya seharusnya mencari modal dari pasar modal bukan dari pemerintah. Selain memperlemah moral kerja bankir juga merusak daya saing perbankan kita dan yang pasti menambah beban fiskal pemerintah yang sudah terus alami defisit necara pembayaran.
Tindakan yang dilakukan juga dapat disebut amoral karena keuntungan yang didapat itu berasal dari subsidi negara dan diberikan bagian keuntunganya kepada pihak asing. Sebut saja misalnya untuk 81 persen dari saham publik Bank BRI yang sudah dikuasai asing.
Dari 91 BUMN yang ada ternyata 41 perusahaan dalam posisi merugi. Bahkan banyak yang dalam posisi terjerat utang dan beban bunga yang cukup besar. Sehingga secara keseluruhan BUMN butuh bantuan likuiditas yang menyedot penambahan modal dari pemerintah sebesar Rp. 79 trilyun pada tahun 2021 saja.
Sebut misalnya PT. Garuda Indonesia yang dalam posisi rugi dan musti ditopang dari bantuan negara untuk melunasi utangnya yang jatuh tempo tahun ini sebesar Rp. 8,1 trilyun dan kerugian sebesar Rp. 38,7 trilyun. Belum lagi kerugian dari PT. Jiwasraya yang harus menyedot uang pemerintah untuk setoran modal baru hingga Rp. 19 trilyun.
Selain itu, dikarenakan beban utang dari BUMN yang secara keseluruhan sebesar Rp. 7.161 trilyun dari nilai asset keseluruhan Rp. 10.017 trilyun maka posisi keuangan BUMN sebetulnya banyak yang habis disedot untuk membayar bunga dari para kreditor.
Dari keuntungan bersih sebelum pajak dan bunga (EBIT)sebesar Rp. 317.1 trilyun ternyata untuk membayar bunganya saja sudah Rp. 89.3 trilyun atau sebesar 28 persen. Dimana ini menandakan adanya rentabilitas perusahaan yang buruk.
Dari 91 BUMN yang ada ternyata 34 perusahaan laporan keuanganya tidak teraudit (unaudited). Ini artinya validitas dari laporan keuanganya juga cukup diragukan.
Di era digital ekonomi, sekelas perusahaan BUMN yang mengelola uang trilyunan rupiah namun keuanganya tidak audited itu tentu sangat memprihatinkan.
Hal yang mengalami kemunduran signifikan dari kinerja Kementerian BUMN sebagai institusi pembina perusahaan BUMN adalah tidak ditampilkanya laporan keuangan konsolidasi BUMN yang dulu dapat diakses oleh publik. Ini juga menandakan bahwa transparansi publiknya semakin menurun.
Jakarta, 6 Agustus 2022
Suroto
Ketua AKSES