Oleh: Retno Susilowati*
BANDUNG, kabarkampus.com– Seperti hujan balik ke langit. G20 identik dengan negara maju. Akan tetapi, sayangnya itu tidak berbanding lurus dengan peringkat kesetaraan gender. Sebab, faktanya kesenjangan antara perempuan dan laki-laki di antara negara-negara anggota forum ekonomi dunia itu masih menganga tajam.
Indonesia sendiri sebagai tuan rumah sekaligus presidensi G20 baru mampu berada di peringkat ke-92. Peringkat Indonesia itu tak jauh berbeda dengan Brazil yang bertengger pada peringkat ke-94 dan Korea Selatan pada posisi ke-99.
Merujuk data 2021, peringkat Indonesia itu cukup menggembirakan. Pasalnya, telah terjadi peningkatan. Sebelumnya, pada Gender Gap Index 2021 yang menggunakan data 2020 peringkat Indonesia pada posisi ke-101. Kala itu Indonesia tengah bergulat menangkal Covid-19.
Banyak pihak mengakui, Covid-19 telah berdampak pada perempuan, terutama keterlibatan di sektor ekonomi yang mengalami penurunan drastis. Padahal, posisi Indonesia di tahun 2019 menurut GGI Report 2020 telah berada pada peringkat ke-85.
Artinya, hanya dalam kurun waktu satu tahun posisi Indonesia telah mengalami penurunan tajam. Meskipun demikian, keterpurukan Indonesia di tahun 2020 itu akhirnya telah terbayarkan dengan kenaikan posisi Indonesia di tahun 2021.
Indonesia ternyata bukan satu-satunya negara anggota G20 yang mengalami kemalangan itu. Nasib serupa pula dialami negara G20 lainnya. Anjloknya indeks kesetaraan perempuan juga dirasakan India. Di tahun 2019 India awalnya berada pada posisi ke-112. Lantas, terjun menjadi ke-140 di tahun 2020. Namun, kembali membaik ke-135 di tahun 2021.
Selain India, Meksiko pun tak luput dari terpaan itu. Dari posisi ke-25 di tahun 2019, Negeri Sombrero itu turun ke-34 di tahun 2020 dan kembali membaik menjadi ke-31 setahun silam.
Di luar dugaan, bahkan China, sebagai negara raksasa ekonomi dunia, hanya menempati peringkat ke-102. Begitu juga dengan Jepang sebagai negara industri terkemuka berada pada posisi ke-116.
Dari dua puluh negara anggota G20, hanya Jerman yang mampu menempati 10 besar. Lantas, disusul negara anggota G20 lainnya, seperti Afrika selatan diurutan ke-20, Inggris ke-22, dan Kanada ke-25. Kemudian, Amerika Serikat pada posisi ke-27. Meksiko dan Argentina berada di ke-31 dan ke-33.
Sedangkan China, Jepang, Brazil dan Afika Selatan cukup stabil posisinya walaupun masih berada pada peringkat ke-95 ke atas. Negara-negara ini tidak banyak mengalami perubahan karena Covid-19.
Bahkan yang menarik 3 negara, yaitu Turki, Korea Selatan, dan Arab Saudi mengalami kenaikan posisi sejak 2019-2021. Arab Saudi sangat fantastis meningkat dari posisi ke-147 di tahun 2020 ke posisi ke-127 di tahun 2021.
Rentetan peringkat kesetaraan gender negara-negara anggota G20 di atas menunjukkan ketimpangan gender yang masih tinggi. Maka, tak berlebihan rasanya jika pada pertemuan G20 yang akan datang, isu kesetaraan jender nampaknya akan menjadi bagian isu penting yang harus dibahas. Isu kesetaran gender berkaitan dengan 17 agenda SDGs yang musti diperjuangkan hingga tahun 2030. Kesetaraan gender sendiri merupakan agenda ke-5. Dengan demikian, isu ini merupakan tanggung jawab seluruh negara-negara G20 untuk memperbaiki kondisi perempuan dengan mempersempit ketimpangan dalam segala aspek kehidupan.
*Penulis adalah Akademisi FISIP Universitas Sriwijaya, peserta kelas menulis KabarKampus asuhan Desmond S. Andrian, S.S., M.Si.
keren artikel nya, betul adanya bahwa kesetaraan gender memang harus di galakkan di era seperti sekarang ini sehingga tidak ada ketimpangan gender baik antara laki-laki dan perempuan di zaman seperti sekarang, seperti yang kita tahu bahwa perempuan juga mempunyai hak untuk memiliki kesempatan yang sama dalam hal apapun.
Informatif sekali beritanya, keren..
Fakta berbicara, sangat informatif.
This article Very inspiring. Gender equality is an important issue in indonesia
Tidak ada perbedaan laki-laki dalam hal menuntut ilmu pengetahuan tapi perbedaan terhadap kemampuan dan kelebihan masing-masing.
Perempuan memiliki kemampuan yang luar biasa yang jarang dimiliki oleh laki-laki. Memperbolehkannya bekerja akan membuahkan kemaslahatan untuk masyarakat, sedang menghalangi keterlibatannya bekerja dapat merugikan masyarakat karena tidak dapat memanfaatkan kelebihannya.
Pekerjaan yang dilakukannya hendaklah yang layak bagi perempuan, apalagi kalau itu memang spesialisasinya perempuan, seperti menjadi bidan dan lain-lain, maka pelanggaran terhadap hal tersebut adalah sesuatu yang keliru. Yang perlu ditambahkan adalah ketika keluar rumah untuk bekerja, perempuan harus tampil dengan sikap dan pakaian yang terhormat.
Perempuan bekerja untuk membantu tugas pokok suaminya. Kalau di wilayah pertanian dapat ditemukan contoh dengan mudah, di mana kaum perempuan banyak yang terlibat di sawah dan juga perkebunan. Di perkotaan misalnya, kalau suaminya dosen membantu mempersiakan makalah, mencari referensinya, membantu pengetikan dan lain-lain.
Bahwa perempuan perlu bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan kebutuhan hidup keluarganya, jika tidak ada yang menjamin kebutuhannya atau kalaupun ada itu tidak mencukupi.
Yang diperlukan pada perempuan dan laki-laki adalah salaing menghargai kelebihan dan kekurangan masing-masingbagar saling melengkapi.
Saudari Reni Intan di akhir komentarnya menuliskan “hak untuk memiliki kesempatan yang sama dalam hal apapun” tentu ini akan lebih bijak bila ditambahkan kalimat “sesuai kodratnya”.
Penulis di awal artikelnya menyayangkan negara maju, yang peringkat kesetaraan gendernya tidak sebanding dengan predikatnya sebagai negara maju. Apa harus berbanding lurus?
Bila saya katakan bahwa “Data menunjukkan siapa kita” maka kita, yang dalam konteks artikel ini adalah Indonesia, adalah juga Indonesia dengan seluruh aspek sosio-kulturnya yang beragam.
Ada berapa suku sih di Iceland, Finland, maupun Norway, yang notabene ada di peringkat 1, 2 dan 3? Dan ketika disebutkan bahwa China dan Jepang yang notabene peringkatnya jauh, tak ada yang memungkiri bahwa China dan Jepang adalah negara maju.
Mungkin kita sedang ada di masa peralihan, dari perempuan yang bangga sebagai “konco wingking”, ke perempuan yang sadar akan pengarusutamaan gender.
Semoga.
Menarik sekali tulisannya terkait kesetaraan gender yg pada saat ini semakin menguat di Indonesia. Tidak ada dikotomi peran lagi antara laki-laki dan perempuan sehingga Indonesia mampu mencapai kejayaan di 2045.
Artikel yg menarik dan perlu jadi perhatian terutama oleh pemerintah dan legislatif, supaya alokasi anggaran terhadap program² gender disetarakan jangan dipinggirkan atau malah dihapus, atau kalo sudah ada di korupsi.
Indonesia sudah gagal akan MDGs apakah akan gagal lagi untuk SDGs. Padahal keduanya merupakan komitmen pemerintah dan wakil rakyat baik di tingkat nasional (pada warganya) dan tingkat internasional (pada donaturnya). Padahal gender merupakan indikator penting dalam pencapaian keduanya. Berharap ada tindakan nyata (bukan omdo) dari setiap pertemuan kesepakatan dalam forum² bergengsi spt G20 ini.
Bravo buat penulis
Luar biasa tulisannya. Jadi bahan renungan dan evaluasi bagi semua bahwa mengapa di era modern kemajuan teknologi dan infrastruktur justru berbanding terbalik dengan tingkat kesetaraan gender. Indonesia bisa anggap ini sebagai peluang dan maju menjadi negara yang sensitif gender dalam setiap kebijakan yang dibuat. Keren Bu Penulis
Terimaksih teman2 yang telah memberi masukan konstruktif pd artikel saya diatas, mmg tiada habisnya kita membahas kesetaraan gender, krn kita memiliki pengalaman dalamkehidupan sehari2 yg bisa menimbulkan perbedaan dalam memaknai kesetaraan.
‘