Urusan tanah ini bukan soal yang sepele apalagi untuk masyarakat Kampung Padua yang menganggap tanah seakan-akan mama atau ibu kandung mereka. Pelepasan tanah tidak bisa dilakukan sembarangan dan perlu melalui proses adat yang panjang. Ketidakjelasan ini menimbulkan konflik horizontal di masyarakat. Luasan tanah akan menentukan marga mana yang memiliki hak ulayat pada wilayah pusat pemerintahan distrik yang akan dibangun. Akhirnya perdebatan antarmarga yang sebenarnya tidak perlu terjadi kini sulit dibendung.
Belum lagi jika kita menganalisis rencana penggunaan tanah seluas 2 atau 9 hektar seperti yang diminta oleh pemerintah. Tanah seluas itu hanya akan memuat tidak lebih dari 5 bangunan fasilitas umum. Padahal kebutuhan fasilitas umum suatu distrik jelas akan lebih dari itu. Mulai dari kantor distrik, koramil, polsek, puskesmas, sekolah, dan tempat peribadatan. Selain itu dibutuhkan juga area perumahan dinas. Kejelasan luas tanah yang dibutuhkan sangat diperlukan di awal pembangunan supaya tidak menimbulkan kecurigaan masyarakat di mana Pemerintah Distrik nantinya menggunakan tanah melebihi kesepakatan.
Permasalahan setelah empat tahun pemekaran Distrik Padua ditetapkan akan menjadi jelas jika kita mendalami bagaimana proses distrik ini akhirnya dibentuk. Kampung Padua yang merupakan ibukota distrik adalah bagian dari sub suku Marind Bob (Rawa) yaitu rumpun Injiwanggu. Injiwanggu adalah salah satu rumpun Marind Bob yang bermukim di bagian Timur Laut Pulau Kimaam. Masyarakat Injiwanggu yang dahulu bermukim di atas rawa kini menempati empat Kampung yaitu Kampung Padua, Sigad, Sabudom, dan Teri.
Masyarakat keempat kampung tersebut merupakan satu rumpun yang terdiri dari tiga belas marga dan memiliki hak ulayat masing-masing. Ditetapkannya pemekaran Distrik Padua membuat Kampung Teri terpisah sendiri dari tiga saudaranya. Hal ini membuat ketidakselarasan antara batas wilayah administrasi distrik dengan wilayah adat. Ditambah hadirnya kampung Bamol 1 dan Bamol 2 membuat masalah tanah adat ini semakin pelik.
Dari hal ini jelas pemerintah membuat keputusan tanpa mempertimbangkan aspek sosial budaya masyarakat setempat. Beberapa masyarakat Kampung Padua kini masih mempermasalahkan saudaranya di Kampung Teri yang tidak menjadi bagian dari Distrik Padua dan justru Kampung Bamol 1 dan Bamol 2 yang dimasukkan. Mereka menganggap ini akan menjadi pintu bagi masyarakat Bamol untuk menerobos hak ulayat Injiwanggu. Lucunya jika kita melihat Peta Administrasi Distrik yang terdapat pada lampiran Perda Kabupaten Merauke Nomor 14 tahun 2018, terdapat kejanggalan batas wilayah distrik itu sendiri.
Pada peta tersebut diperlihatkan wilayah Distrik Padua merupakan area berwarna merah muda dan kampung-kampung yang diberi simbol titik merah. Ternyata berdasarkan batas wilayah tersebut, justru Kampung Teri berada di dalam wilayah Distrik Padua dan Kampung Sabudom tidak termasuk di dalamnya. Hal ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam menentukan wilayah administrasi distrik dan penentuan kampung yang menjadi bagian di Distrik Padua. Peta tersebut menunjukkan penentuan batas wilayah Distrik Padua tidak melibatkan ahli pemetaan dan hanya membagi wilayah secara asal.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>