Tidak berhenti di situ, ketidakseriusan penentuan batas wilayah ini ternyata merupakan hal yang telah berlangsung lama seperti yang dapat kita lihat pada penentuan batas wilayah Distrik Ilwayab. Distrik Ilwayab resmi dibentuk melalui Perda Kabupaten Merauke Nomor 2 tahun 2006. Pada perda tersebut juga terdapat lampiran peta administrasi Distrik Ilwayab serta beberapa distrik lainnya yang juga didirikan.
Peta ini bahkan patut ditanyakan ulang “ke-petaan-nya”. Apalagi jika kita melihat pembagian wilayah yang hanya dibuat secara garis lurus tanpa mengikuti batas wilayah adat atau bahkan sekadar kenampakan alam. Hal ini mengingatkan kita pada pembagian wilayah khas kolonialisme antara Papua yang menjadi bagian dari Indonesia dengan Papua Nugini yang hanya menarik garis lurus, membagi saudara satu suku di antaranya Suku Marind di Selatan Papua. Kini mereka akan dianggap “penerobos wilayah negara” jika mau mengunjungi saudaranya, di tanah mereka sendiri.
Pemekaran Distrik Padua ini menjadi gambaran kecil bagaimana pembangunan ala negara yang diterapkan di Papua. Perencanaan yang tidak melibatkan dan mempertimbangkan sosial budaya masyarakat masih menjadi ciri messiah complex bernama negara.
Kacamata developmentalisme yang digunakan negara menghasilkan kesimpulan bahwa Papua masih tertinggal dan perlu mereka bantu lewat “pembangunan”. Sejauh yang telah dilakukan, pembangunan tersebut hanya sekadar pembangunan fisik yang justru memutus akses dan pengetahuan masyarakat Papua akan sumber daya alamnya. Investasi yang dikucurkan ke Papua seakan-akan membagi-bagi tanah masyarakat kepada investor dan menghasilkan keuntungan bagi mereka, bukannya kesejahteraan masyarakat seperti yang terjadi di Kampung Zanegi dan Bu Epe akibat MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) di Merauke.
Berdirinya provinsi baru juga akan membuka risiko kemungkinan opresi negara kepada rakyatnya sendiri. Contoh kecilnya saja insiden kekerasan yang dialami Steven Yadohamang, penyandang disabilitas yang diinjak oleh oknum dua aparat TNI AU di Merauke tahun 2021 lalu. Tidak digubrisnya penolakan-penolakan yang dilakukan oleh masyarakat Papua membuat prasangka-prasangka tersebut wajar terjadi. Cita-cita pembangunan untuk peningkatan kesejahteraan bukankah kini menjadi wajar dipertanyakan?
*Penulis merupakan relawan program Patriot Energi yang tinggal bersama masyarakat Kampung Padua selama 1 tahun sebagai pengorganisir masyarakat di bidang Energi Baru Terbarukan. Penulis melakukan pemetaan dan analisis sosial dan budaya masyarakat untuk mengenali lebih jauh masyarakat Kampung Padua. Penulis adalah peserta Kelas Menulis Kabar Kampus asuhan Dr. Dina Y. Sulaeman. (Tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis)