Koalisi Pendidikan Nasional (KPN) yang terdiri dari unsur mahasiswa, guru, pelajar, akademisi, pemerhati pendidikan, pegiat pendidikan masyarakat adat, pegiat pendidikan alternatif serta organisasi masyarakat sipil yang peduli terhadap pendidikan di Indonesia menolak RUU Sisdiknas yang diusung oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (“Kemendikbud Ristek”) sejak Januari 2022 lalu.
Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang dimaksudkan menggabungkan 3 Undang-Undang (UU) yang mencakup UU 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen serta UU 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi tersebut tidak membuka ruang partisipasi yang bermakna bagi publik dan semangatnya bertentangan dengan pemenuhan standar-standar hak atas pendidikan.
Koalisi Pendidikan Nasional mencatat beberapa permasalahan yang dihadirkan dari RUU Sisdiknas ini sebagai berikut: Pertama, sejak awal sikap pemerintah yang menolak membuka draf RUU Sisdiknas telah melanggar asas-asas pembentukan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam UU P3, di mana Pasal 88 UU P3 dan Pasal 171 Perpres 87/2014 mewajibkan pemerintah mempublikasikan draf RUU sejak tahap perencanaan dan penyusunan.
Kemudian, hal tersebut berdampak pada proses perencanaan dan penyusunan RUU Sisdiknas menjadi tidak partisipatif dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 96 UU P3. Fakta bahwa beberapa pemangku kepentingan mengeluhkan terbatasnya ruang yang diberikan pemerintah dalam beberapa uji publik yang dilakukan menunjukan bahwa pelaksanaannya berpotensi manipulatif alih-alih kolaboratif jika merujuk pada teori partisipasi Arnstein.
Hal ini juga menjadi catatan buruk dan pola keberulangan bagi Pemerintah dan DPR dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan. Nasib serupa dapat dilihat pada pembentukan Omnibus Law Cipta Kerja, UU Ibu Kota Negara hingga RKUHP.
Kedua, KPN menilai bahwa draf RUU Sisdiknas yang diusung pemerintah saat ini tidak sejalan dengan prinsip pemenuhan hak atas pendidikan mencakup Ketersediaan, Keterjangkauan, Kelayakan, dan Keberterimaan (Tomasevski, dalam UNESCO, 2019). Seharusnya pemerintah pusat maupun daerah bertanggung jawab untuk memastikan setiap warga negara dapat mengakses pendidikan berkualitas. Pendidikan adalah hak konstitusional warga negara dan pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara.
Bergesernya semangat perubahan yang diusung melalui RUU Sisdiknas mungkin terjadi mengingat proses perencanaan dan penyusunannya tidak transparan dan membuka ruang partisipasi bermakna bagi publik. Jika dipertahankan, bukan hanya tidak menyelesaikan permasalahan pendidikan nasional di Indonesia, tetapi justru berpotensi memperparahnya. Sehingga Draf RUU Sisdiknas yang ada saat ini belum mencerminkan hal-hal tersebut, sebab masih banyak masalah-masalah di dalam RUU tersebut yang perlu dicermati.
Melihat beberapa permasalahan yang dihadirkan oleh RUU Sisdiknas tersebut, Koalisi Pendidikan Nasional menyatakan menolak RUU Sisdiknas yang diusung pemerintah sejak Januari 2022 lalu dan mendesak Presiden RI dan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk membuka partisipasi bermakna pada masyarakat dalam tahap awal perencanaan RUU untuk merumuskan ulang urgensi pengaturan dan arah perbaikan pendidikan nasional yang sejalan dengan konsepsi hak atas pendidikan.
Koalisi Pendidikan Nasional (KPN):
- Aliansi Peduli Pendidikan;
- AMAR Law Firm;
- BEM Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang;
- BEM Fakultas Ilmu Komputer Universitas Singaperbangsa Karawang;
- BEM Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;
- BEM Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta;
- BEM Universitas Negeri Jakarta;
- BEM Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta;
- BEM Universitas Pendidikan Indonesia;
- BEM Universitas Sultan Ageng Tirtayasa;
- Federasi Guru Independen Indonesia (FGII);
- Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI);
- Komite Revolusi Pendidikan Indonesia (KRPI);
- KOPEL Perwakilan Jabodetabek;
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta;
- Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID);
- Perhimpunan Pendidikan Guru (P2G);
- Sekolah Mahasiswa Progresif (SEMPRO);
- Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI);
- Sokola Institute;
- Vox Populi Institute Indonesia;
- Anggi Afriansyah (Peneliti Pendidikan BRIN);
- Dhitta Puti Sarasvati (Pegiat Pendidikan)
- Doni Koesoema A (Pemerhati Pendidikan);
- Dudung Abdul Qodir (PGRI);
- Dr. Mampuono, S.Pd., M.Kom. (Perkumpulan Teacherpreneur Indonesia Cerdas);
- Fauzi Abdullah (Dosen UNJ);
- Henny Supolo Sitepu (Yayasan Cahaya Guru);
- Indra Charismiadji (HIPPER Indonesia);
- Jimmy Paat (Pemerhati Pendidikan);
- Karina Adistiana (Psikolog Pendidikan);
- Ki Darmaningtyas (Pengamat Pendidikan);
- M. Abdullah Darraz (Pemerhati Sosial);
- Mu’min Boli (Mahardika Institute)
- Pangeran Gusti Surian (Ketua Umum PTIC);
- Prof. Dr. Cecep Darmawan, S.Pd., S.I.P.. S.H., M.H., MSI. (Guru Besar UPI);
- Prof. Dr. H. Said Hamid Hasan, M. A. (Guru Besar UPI);
- Rakhmat Hidayat (Dosen Sosiologi UNJ);
- Rizky Arifianto (Lembaga Bantuan Hukum Rakyat Banten)
- Sari Wijaya (YAPPIKA);
- Setiawan Agung Wibowo (Pegiat Pendidikan).