Di Pasaman Barat, konflik agraria masih terjadi dalam masyarakat yang berusaha untuk mempertahankan hak kepemilikan lahan masing-masing. Meningkatnya angka ekspor CPO membuat sebagian warga mengalihkan lahan menjadi perkebunan kelapa sawit. Lahan masyarakat yang beralih ke perkebunan kelapa sawit menimbulkan berbagai permasalahan karena masyarakat berupaya untuk meningkatkan perekonomian melalui kebun kelapa sawit. Selain itu, adanya kebijakan pelarangan ekspor CPO pada tahun 2022 tentu berdampak terhadap perekonomian masyarakat yang bekerja di sektor perkebunan kelapa sawit.
Harga Tandan Buah Segar (TBS) yang anjlok di tingkat petani merupakan dampak dari keputusan pemerintah yang menaikkan bea ke luar dan pungutan ekspor yang berujung pada besarnya beban baik untuk pengusaha dan petani. Adanya larangan ekspor CPO nampaknya menimbulkan masalah baru yaitu tidak terserapnya produksi Tandan Buah Segar (TBS) petani sawit. Hal itu karena sebagian besar produksi CPO Indonesia disalurkan ke luar negeri. Dengan demikian, larangan ekspor membuat tangka penyimpanan CPO menjadi penuh.
Larangan ekspor membuat keuntungan perusahaan kelapa sawit jauh berkurang, sehingga berdampak ke petani, dimana pembelian TBS ditekan untuk mengatasi masalah profit perusahaan. Perusahaan kelapa sawit mengalami penurunan keuntungan akibat larangan ekspor dan petani sawit merasakan kerugian yang besar. Petani kelapa sawit di Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat mulai merasakan keresahan karena turunnya harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit. Pada saat sebelumnya harga TBS mencapai Rp3.000-an per kilogram, kini turun menjadi Rp1000-an per kilogram dalam beberapa bulan terakhir.
Harga sawit yang terjun bebas bukan hanya berdampak pada pemilik kebun kelapa sawit saja, namun juga berdampak kepada para pekerja. Akibat harga sawit yang turun drastis, banyak petani yang tidak panen karena harga jual tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Dengan demikian para pekerja juga tidak bisa bekerja karena kondisi yang seperti ini. Anjloknya harga sawit di Pasaman Barat membuat ekonomi masyarakat melemah karena masyarakat Pasaman Barat merupakan mayoritas petani sawit.
Berdasarkan wawancara dengan salah seorang petani sawit di Jorong Labuai, Kecamatan Koto Balingka, Kabupaten Pasaman Barat, ia menyebutkan bahwa harga Tandan Buah Segar (TBS) telah membuat petani tidak lagi sanggup membeli pupuk karena saat ini harga pupuk sangat mahal. Jikalau sawit berhenti dipupuk, maka produksi tanaman sawitnya akan turun dan akan berdampak pada tahun-tahun berikutnya. Sebagai nasabah bank, ia juga menyebutkan bahwa selama harga TBS murah membuat ia sulit untuk membayar pinjaman per bulan ke bank. Jika harga TBS tetap anjlok hingga akhir tahun maka keputusan yang diambil adalah dengan menumbang pohon sawit dan menggantinya ke jenis tanaman lainnya.
Menurutnya sudah hampir 2 bulan sawit belum dipanen karna sampai saat ini harga sawit hanya berkisar Rp400 – Rp700-an per kilogram. Jikalau di panen pun tak sampai separuh harga untuk mereka karena harus berbagi untuk pekerja dan ditambah ongkos transportasi karena jarak kebun yang lumayan jauh.
Penulis melihat bahwa para petani sawit nampaknya sangat resah karena dalam hitungan jam saja harga sawit turun drastis. Kondisi perekonomian pa petani semakin buruk ditambah lagi harga semua bahan pokok mengalami kenaikan. Di saat harga jual sawit murah semua harga bahan pokok yang lainnya seperti cabe justru mengalami kenaikan. Sebenarnya petani sawit memiliki penghasilan dari hasil kebunnya sendiri, namun dengan harga sawit yang rendah seperti itu wajar apabila mereka mengaku bahwa penghasilan sekarang yang mereka dapatkan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari.
—
*Penulis adalah Mahasiswa Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas (UNAND).