Sepak Bola Untuk Perlawanan dan Keindahan Di Amerika Latin
Seorang Novelis besar Amerika Latin, Eduardo Galeano dalam “Sepak bola di bawah matahari dan bayangan” menuliskan, “Kemenangan tanpa keajaiban, tanpa kejutan, atau keindahan, bukankah itu lebih buruk dari pada kekalahan?”. Perkataan ini adalah sebuah gambaran bagaimana sepak bola di Amerika Latin bekerja, ia serupa dengan guratan sastra yang melampiaskan ekspresi politik. Sepak bola dan sastra di Amerika Latin mempertautkan keindahan sekaligus api perlawanan.
Sepak bola adalah seni. Sepak bola adalah keindahan merupakan DNA di Amerika Latin. Amerika latin seperti tak pernah terpuaskan dengan keindahan sepak bola. Tidak lengkap dan tidak sah rasanya jika sepak bola tidak dimainkan dengan indah bagi orang Amerika Latin. Salah satunya adalah Brazil yang memiliki istilah khusus tentang sepak bola indah yang dikenal dengan Jogo Bonito, yakni permainan yang sarat keindahan dan obsesi yang tak berujung akan permainan yang indah. Kepeloporan itu dimulai oleh Pele dan Garrincha sebagai nama yang paling spesial. Pele adalah striker hebat yang dapat mencetak gol dari segala sisi, ia juga sosok pemenang tiga kali piala dunia, prestasi yang sulit disamai pemain sekarang. Sedangkan Garrincha diberkati skills dewa saat menggiring bola, memiliki gerakan yang unpredictable, dan estetik. Kebahagiaan dan keindahan menjadi kata yang mewakili kala Garrincha bermain.
Amerika latin adalah kawah candradimuka bakat-bakat hebat sepak bola, semarak liga top Eropa terasa hambar tanpa bintang-bintang Latino. Skills istimewa dan gerakan yang tak terduga menjadi ciri khas para pemain bintang Amerika Latin, sebut saja Riquelme, Ronaldinho, Ronaldo, Suarez, Neymar, dan pemain terbaik di dunia Lionel Messi. Daftar nama itu takkan ada habisnya jika menyebut nama pemain Latino yang memiliki kemampuan yang khas dan spesial. Pemain Amerika latin selalu membawa keindahan dan kegembiraan di lapangan hijau, penonton dibuat berdecak kagum dan terhibur lewat aksi-aksi mereka. Pemain latin memamerkan seni sepak bola tingkat tinggi dan megah, yang indah dan memanjakan mata, yang dahsyat dan anggun.
Seperti kata Juergen Klopp, “kita harus membuat hidup menjadi lebih baik, itulah apa yang harus dilakukan sebab sepak bola tidak terlalu penting, kita tak menyelamatkan nyawa seseorang seperti dokter. Tugas kita adalah membuat orang-orang melupakan sejenak dalam 90 menit mengenai masalah-masalah mereka dan membuat sepak bola menjadi topik pembicaraan yang hangat”. Itulah sebabnya, sepak bola harus dimainkan dengan indah dan menghibur, sebagai sumbangsih terbaik dari sepak bola untuk kehidupan. Sepak bola Amerika Latin memiliki keistimewaan tentang apa yang dibutuhkan hidup dari sepak bola.
Dimensi keindahan dan perlawanan adalah sepaket yang terbingkai dalam sepak bola Amerika Latin. Pada titik tertentu, sepak bola di Amerika Latin melampaui lapangan hijau. Seorang pemikir post-kolonial, Gayatri Svivak, memiliki pertanyaan dalam bukunya, “bisakah subalter (kaum terpinggirkan) berbicara?” Sepak bola memberikan secercah jawaban atau barangkali pemantik bagi ide-ide yang memerdekakan pikiran, melalui sepak bola negeri periphery dan mereka yang terpinggirkan bisa lantang bicara dan memulihkan jati dirinya dan martabat. Tafsir perlawanan dan revolusioner itu datang dari Diego Armando Maradona, sekaligus membuktikan bahwa sepak bola sejatinya sebagai alat perjuangan. Di tangan Maradona, perpaduan keindahan dan perlawanan mewujud dengan sempurna dan ekspresif. Gairah tinggi, gesture revolusioner, dan keindahan permainan terlukis oleh El Pibe de Oro, si bocah emas julukan Maradona.
Piala dunia 1986 adalah prasasti sejarah seorang Diego Maradona. Ia menjadi lakon utama dengan membawa Argentina juara. Yang menambah spesial adalah Argentina menjadi juara dengan menaklukkan Inggris sebagai negeri imperialis dan seteru Argentina dalam perang Malvinas dan kekuatan raksasa lainnya, Jerman di partai puncak. Getaran kuat dan dampak yang ditinggalkan Maradona begitu hebat bagi negara-negara dunia ketiga yang notabene baru saja merdeka, tentang inspirasi sikap anti-imperialisme dan solidaritas selatan. Efek itu masih berlangsung hingga kini di Bangladesh sebagai contoh, ‘warisan kegilaan’ menjadi pendukung fanatik Argentina sampai bergenerasi yang bermula dari sikap anti kolonialisme dan mengkristal sempurna saat Maradona menjadi juara dunia.
Sosok Maradona, yang berasal dari kawasan kumuh dan keluarga miskin menempa kepribadian Maradona. Permainan sepak bolanya mengandung dua sisi, atas dasar cinta dan memulihkan martabat mereka yang terpinggirkan. Aksinya membawa Argentina menjadi juara membuka anak-anak miskin di seluruh dunia untuk bermimpi menjadi pesepak bola profesional. Itu dibuktikan kembali saat di level klub bersama Napoli. Ia berhasil membawa Napoli meraih Scudetto, saat tiada satupun yang percaya kesebelasan dari Selatan Italia mampu mengalahkan Utara. Ia memulihkan martabat orang miskin dari Selatan lewat sepak bola di hadapan Utara yang glamor dan sombong diwakili Milan dan Turin. Ia dengan tegas mengatakan, “Saya ingin menjadi idola anak-anak miskin Napoli, karena mereka seperti saya ketika saya tinggal di Buenos Aires”. Keberpihakan Maradona kepada mereka yang terpinggirkan adalah bagian dari cara Maradona memainkan sepak bola.
El Diego juga mengambil bagian dalam menentang proposal perdagangan bebas Amerika (FTAA) pada 2005, ia bersama Hugo Chavez ikut terlibat dalam aksi ratusan ribu orang menolak FTAA di Mar Del Plata, di atas podium Maradona menyerukan, “Terima kasih aku berada di sini. Argentina punya martabat sebagai sebuah bangsa. Mari menendang Bush keluar dari sini”. El D10S juga lantang menyerukan solidaritas terhadap Palestina, “Dalam hati saya, saya adalah orang Palestina, dan saya pembela rakyat Palestina. Saya menghormati dan bersimpati terhadap mereka. Saya mendukung Palestina tanpa takut”.
Takkan ada habisnya mengulas seorang Diego Maradona yang lain dari yang lain. Sepak bola melalui figur Maradona menegaskan kembali tentang nilai kesetaraaan, keadilan sosial, dan solidaritas melawan imperialisme dan aktif mendukung gerakan progresif di dunia dan Amerika Latin. Kisah melampaui lapangan hijau. Sepak bola melalui figur Maradona menjadi alat untuk memperjuangkan nilai kesetaraaan, keadilan sosial, dan solidaritas melawan imperialisme.
Narasi sepak bola yang progresif di Amerika Latin yang lain datang dari Sócrates, pesepak bola cum aktivis memiliki ciri khas bermain dengan ikat kepala putih saat membela Brazil, itu bertuliskan kata-kata bermakna seperti; “Rakyat Membutuhkan Keadilan”, “Katakan Ya Untuk Cinta, Tidak untuk Teror”, dan “Hentikan Kekerasan”. Sepak bola yang ia mainkan selalu membawa nilai demokrasi, solidaritas, dan realita sosial untuk membangun empati. Ia berujar saat momen piala dunia Meksiko 1986, “Saat bermain bola, kaki saya memperkuat apa yang saya suarakan”.
Socrates menuangkan catatan sejarah yang ikonik dengan Corinthians, klub yang dibangun oleh kaum pekerja kereta api dan keringat orang-orang miskin. Ia memimpin gerakan demokrasi melalui klub sepak bola sebagai perlambang perlawanan terhadap kediktatoran militer. Praktik demokrasi yang adil dan setara untuk membuktikan sistem ini lebih baik dari pada kediktatoran. Tim yang dibangun oleh Socrates dengan rekan-rekannya dan didukung jajaran petinggi klub menyebut sebagai “Time do povo” atau Team untuk Rakyat”. Kolektivitas dan kesetaraan yang dibangun di Corinthians, menginspirasi pemilu multipartai pertama di bawah lars militer. Yang pada 1985 menjadi gerakan massa untuk proses transisi demokrasi di Brazil meski belum cukup meruntuhkan tembok kekuasaan militer. Namun apa yang dilakukan Socrates berhasil membangun imajinasi tentang kebebasan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap kemanusiaan.
Hal yang sama di Amerika Latin, seperti di Afrika dan belahan dunia lainnya. Sepak bola di Amerika Latin begitu banyak menyelamatkan anak-anak keluar dari kubangan kemiskinan. Sebut saja, berapa banyak pemain dari Amerika Latin yang terlahir dari keluarga tidak mampu. Sepert: Diego Maradona, Lionel Messi, Ronaldinho, Marcelo, Luis Suarez, Alexis Sanchez, Darwin Nunez, Arturo Vidal, Luis Diaz, Ronaldo Nazario, dan tak ada habisnya daftar nama yang terselamatkan dari Sepak bola.
Sepak bola menjadi peri harapan penyelamat hidup seseorang untuk memperbaiki dan mengubah nasib. Sepak bola melampaui lapangan hijau dengan beberapa kisah menjadikan sepak bola untuk memulihkan harkat dan martabat kemanusiaan yang terkoyak akibat penindasan dan penghisapan serta menyuarakan solidaritas. Itulah warna sepak bola Amerika latin yang mengandung estetika tinggi, semangat revolusioner, nilai-nilai kebebasan, kesetaraan, dan kemanusiaan untuk menghidupi hidup lebih layak dan beradab untuk cita-cita kemanusiaan universal.
Kalau di Eropa semangat tersebut diwakili oleh sosok Cristiano Ronaldo mega bintang asal Portugal yang bangkit dari kubangan kemiskinan dan menjadi super star dengan follower instagram terbanyak saat ini, yakni setengah miliar manusia lebih. Begitupun solidaritas dan konsistensinya mendukung kemerdekaan Palestina.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>