Oleh: Indriani Ratu Kendedes*
Pada era sekarang banyak anak muda interest untuk bergabung dalam partai politik. Dengan alasan untuk membangun daerah, sebagai pelopor muda dan alasan lainnya yang sudah menjadi makanan di telinga masyrakat. Bahkan para artis pun tak mau kalah unjuk diri untuk mencoba sesuatu yang baru, berkecimpung dalam ranah politik.
Sah-sah saja tentunya. Apalagi Indonesia menganut sistem multipartai yang sudah terbentuk semenjak 1999. Saat era reformasi dari 98 setelah kemunduran Bpk. Soeharto, rakyat bisa merasakan kebebasan dalam berpendapat dan berkritik. Salah satunya juga membentuk partai politik.
Berdasarkan data dari KPU sudah ada 17 partai politik yang lolos sebagai peserta pemilu, anggota dewan perwakilan rakyat, dan anggota dewan perwakilan rakyat daerah pada pemilu 2024 mendatang. Jumlahnya bertambah jika dibandingkan dengan pemilu 2019 kemarin yang hanya berjumlah 14 partai politik.
Jika kita berkaca kepada negara superior yaitu Amerika Serikat yang juga menerapkan sistem demokrasi dengan luas negara 9,834 juta persegi namun hanya memiliki dua partai besar, yaitu Partai Republik dan Partai Demokrat. Walaupun hanya dua juga sempat menimbulkan keributan karena perbedaan ideologi yang mendasar. Dengan demokrat terkenal dengan ideologi liberalis sedangkan republik jutsru konservatif, memantik api pertikaian saat pemilihan Barack Hussein Obama yang maju saat pilpres pada tahun 2012 lalu.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Jika ditarik garis waktu pada era Soeharto juga terjadi peristiwa terkelam dalam sejarah demokrasi Indonesia. Yaitu Peristiwa Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli) 27 Juli 1996 yang disebabkan pertikaian internal partai, perebutan kekuasaan dari Partai PDI P. Setelah masuknya Megawati dalam partai PDI P, lalu menjadi anggota DPR dan karier politiknya bersama PDI P melejit, ia berhasil merebut pucuk kepemimpinan dari Soerjadi berdasar dukungan mayoritas kader PDI.
Karena berhasilnya Megawati menjadi Ketua Majelis Tinggi PDI P, terjadi pemberontakan dan penyerangan antara kubu Megawati dan Soejardi. Akibat peristiwa tersebut terdapat beberapa orang tewas, luka-luka serta terjadi kerusakan pada fasilitas publik.
Peristiwa lainnya ialah KLB (Konres Luar Biasa) Demokrat pada 5 Maret 2021 yang waktu itu sempat menganggu iklim demokrasi Indonesia. Karena mengancam keamanan kedudukan partai yang berkoalisi dengan pemerintah. Yang disebabkan atas naiknya Moeldoko sebagai pemimpin baru Partai Demokrat yang sekaligus juga merangkap sebagai staf kepresidenan, membuat beberapa kader partai lain merasa terganggu hadirnya Moeldoko dalam salah satu partai.
Berdasarkan dari dua contoh yang terjadi di Indonesia, bukankah sudah memperlihatkan bagaimana implementasi sistem multipartai yang diterapkan di Indonesia? Itu merupakan momok yang harus dibenahi bagaimana sebaiknya di masa depan.
Tujuh belas partai, bukankah semakin banyak yang maju ada dorongan interest yang ingin diwujudkan? Betapa mirisnya lingkungan politik saat ini. Terbentuk karena interest dan memikul beban yang berat, sampai dahaga tersebut dibayar lunas dengan terwujudnya harapan .
Apa solusi yang tepat dari sekelebat polemik partai di Indonesia ini? Dipangkas lalu ditetapkan Indonesia memakai sistem dwi partai? Mungkin akan terjadi kericuhan yang lebih hebat lagi karena tentunya masing-masing partai ingin menduduki tempat urutan. Jika masih ditetapkan sistem multipartai? Bukankah sayang APBN negara terbuang sia-sia? Aspirasi masyarakat terpampung namun eksekusi belum berjalan. Lalu bagaimana rencana ke depan yang seharusnya dijalankan?
*Penulis adalah mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Andalas.