Ketiga, yang sering abai dipelajari dan dipahami oleh mayoritas rakyat Indonesia adalah perisai di dada Garuda yang di dalamnya terdapat simbologi sila-sila Pancasila, yang tersusun dalam konfigurasi yang harmoni dan dinamis. Tanpa perisai tersebut Garuda hanyalah Garuda. Dengan adanya perisai tersebut maka ia menjadi Garuda Pancasila. Pada perisai tersebut tersusun 5 sila dari pancasila.
Sila pertama, “Ketuhanan yang Maha Esa”. Umumnya orang melihat bintang sebagai simbol sila pertama, namun Muhammad Natsir yang mengusulkan lambang sila pertama ini, menyebutnya dengan nur cahaya. Sebuah penggambaran yang lebih akan spritualitas, cahaya ilahi. Cahaya Tuhan ada di mana-mana, meliputi segala sesuatu.
Sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Mayoritas masyarakat kita tak menyadarai bahwa lambang rantai pada sila kedua ini adalah rantai petak lingkar. Diusulkan oleh Sultan Hamid II dari Pontianak. Diadopsi dari kalung rantai yang biasa dipakai oleh Suku Dayak yang menggambarkan regenerasi. Petak melambangkan laki-laki dan lingkar melambangkan perempuan. Jadi dalam konstitusi kita, perempuan dan laki-laki kedudukannya sudah sederajat. Di banyak bangsa lainnya, kesetaraan gender mungkin baru jadi wacana, tapi pada bangsa Indonesia ia sudah mewujud sebagai nilai dari dasar negara. Karena itu sejak dari pemilu pertama di Indonesia, perempuan sudah punya hak suara. Kontras dengan Amerika Serikat, di mana perempuan baru punya hak suara 70 tahun setelah pemilu pertama mereka selenggarakan.
Sila ketiga, “Persatuan Indonesia”. Umumnya orang menyebut pohon beringin sebagai simbol sila ketiga. Namun yang mengusulkannya Raden Mas Ngabehi Purbatjaraka lebih spesifik menyebutnya pohon Astana. Pohon Astana biasanya ditanam di depan keraton kerajaan di masa lalu, tempat di mana raja dan rakyat berkumpul membicarakan persoalan kehidupan bersama. Maknanya sangat mendalam. Kekuasaan harus menyatu dengan rakyat. Penguasa tidak boleh berjarak dengan rakyat. Penguasa harus hadir di tengah-tengah rakyat, harus mengayomi rakyat.
Sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Dilambangkan dengan kepala Banteng. Diusulkan oleh Muhammad Yamin. Simbol kepala Banteng melambangkan tenaga rakyat yang ulet dan tekun. Tenaga rakyat tersebut harus disusun dengan cara musyawarah dengan metode perwakilan. Demokrasi pancasila bukan sekedar one man one vote. Bukan sekedar menang-menangan, bukan sekedar adu banyak. Tidak saling menegasikan. Tapi Demokrasi yang mengedepankan hikmah dan kebijaksanaan. Yang mayoritas melindungi yang minoritas, yang banyak harus merangkul yang sedikit. Sejak ribuan tahun lalu, masyarakat di Nusantara hidup dalam harmoni dan kebersamaan. Sriwijaya dan Majapahit, dua kerajaan besar di Nusantara tidak dibangun dengan penaklukan (invasi), melainkan hadir sebagai pengayom dalam peradaban bahari bagi ratusan kerajaan lainnya yang ada di Nusantara.
Sila kelima, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Ki Hajar Dewantara mengusulkan agar sila kelima ini dilambangkan dengan padi dan kapas. Sebagai lambang kemakmuran dan kesejahteraan. Tujuan bernegara haruslah bermuara pada kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Setiap warga negara harus dipenuhi haknya oleh negara, tidak boleh ada satupun golongan/pihak yang terabaikan.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>