Oleh: Ali Wardhana Isha*
Pemilu 14 Februari 2024, merupakan pemilu serentak pertama yang bertujuan untuk memilih presiden, wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baik pusat, provinsi maupun kabupaten/kota) dan anggota senator Dewean Perwakilan Daerah (DPD RI), periode 2024-2029. Untuk calon presiden ada 3 nama kuat yang muncul; Ganjar Pranowo (GP), Prabowo Subianto (PS) dan Anies Baswedan (AB). Saya belum mendengar ada yang fokus mengangkat isu pertanian sebagai bentuk keberpihakannya.
BPS mencatat 40,64 juta penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan (Februari 2022). Artinya, sebanyak 14,84 % dari 273,8 juta jiwa penduduk Indonesia tahu 2021. Posisi kedua adalah buruh sebanyak 37,02 juta. Buruh di sini termasuk buruh tani, dan pabrikan.
Indonesia disebut negara agraris salah satunya tercermin dari besarnya populasi petani. Namun pertanyaannya “Seberapa agraris kita sebenarnya?” Negara agraris seakan cerita pengantar tidur, cerita penghibur saja, mengapa? Karena realitanya negara ini tak pernah sesungguhnya menunjukkan jati dirinya sebagai negara agraris. Negara ini selalu berada di underdog dalam sektor agraris. Padahal, Koes Plus dalam lagunya yang sangat terkenal “Kolam Susu” menyebut jika batu kita tanam di negeri ini, akan tumbuh. Sebuah metafor hiperbola yang luar biasa, bahwa Indonesia ini memang sangat subur, sampai-sampai batupun bisa jadi tanaman.
Tapi Saya tersentak ketika seorang teman mengirim pesan whatsapps. Dia prihatin akan ketahanan pangan dalam negeri. Dia mengirim data bahwa dari 24 negara eksportir utama pangan dan pertanian dunia ternyata, mayoritas adalah negara industri maju, yaitu Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Perancis, Spanyol, Kanada, Belgia, Italia, Australia, Inggris dan Denmark. Jumlah itu akan bertambah bila saya masukkan Rusia, Chili, dan Polandia.
Lalu, di mana Indonesia? Indonesia berada di urutan ke-24. Bukankah kita selama ini mengklaim diri sebagai negara agraris? Bila melihat realita ini “Di mana keagrarisan kita?” ujarnya. Jangan-jangan kita selama ini menyatakan diri sebagai negara agraris sekedar untuk menghibur diri karena ketidakmampuan mengoptimalkan potensi pertanian dalam negeri. Atau bisa jadi karena kita terlalu silau dengan dunia industri yang membawa negara-negara tersebut maju dengan cepat.
Segala kemungkinan itu bisa jadi ada benarnya. Sebab sejak 75 tahun lalu merdeka, Indonesia hanya mampu bangga dan puas dengan julukan itu. Kita tak pernah berpikir, bagaimana sesungguhnya negara agraris yang dimaksud.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>