Step “Logistik” (transportasi) agar sampai ke pasar (market) sebelum ke konsumen sudah pasti juga tidak di bawah kendali petani/negara. Kepemilikannya dipastikan ada di tangan corporate besar juga. Jika ada negara di situ, yakin hanya semata operator transportasi, mengingat pasar ada di genggaman corporate. Realita ini terjadi karena posisi negara lemah dan tidak memiliki grand design dan blue print untuk memperkuat ruang kendali ekosistem pertanian-perikanan guna menempatkan petani dan negara sebagai pemilik otoritas keberdikarian ekonomi tani.
Yang sangat dibutuhkan petani dan nelayan sesungguhnya adalah perlindungan/proteksi pertanian-perikanan, bukan sebatas kekuatan finansial yang jadi permasalahan. Petani-nelayan membutuhkan ruang pasar dan political will dari negara. Petani-nelayan membutuhkan “empower” dari negara untuk membantu petani mencapai tujuannya meningkatkan kesejahteraan. Empower bukan berarti upaya mengontrol orang lain, melainkan untuk menumbuhkan semangat positif dalam diri semua pihak (petani-nelayan maupun pemilik modal), untuk sama-sama membangun komitmen bersama dalam mencapai tujuan bersama (win-win solustion).
Negara bisa memulai dengan membangun capacity building di sektor pertanian, perikanan dan peternakan. Alih technology innovation (Inovasi teknologi), pengembangan produk (product development), berusaha untuk kepentingan kemasyarakatan (social enterprise/social enterpreneurship). Social enterprise maksudnya negara menekankan pengembangan usaha pertanian, peternakan dan perikanan, semata-mata untuk kepentingan rakyat sebagaimana pasal 33, ayat 2 UUD, “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Di mana sistem ekonominya harus “Dibangun dengan sistem usaha bersama atas asas kekeluargaan” (UUD Pasal 33 ayat 1).
Bagaimana menggapainya? Negara harus mampu mendorong langkah-langkah kolaborasi dengan semua stakeholders pertanian, perikanan dan peternakan, seperti investor, petani, pemerintah, akademisi, komunitas, media dan pelaku bisnis. Di sini peran strategis negara/pemerintah sangat mutlak karena memegang penuh otoritas regulasi. Negara harus mampu membangun kolaborasi pada semua pihak. Investor maupun konsumen memiliki kebanggaan ekstra untuk menggunakan produk dalam negeri sebagai komitmen kecintaan pada bangsa. Investor juga harus memiliki komitmen untuk mengutamakan investasinya pada sektor pertanian, peternakan dan perikanan di dalam negeri, termasuk konteks pemasaran produk olahannya.
Media massa pun harus memiliki keteguhan untuk berperan aktif memperkenalkan semua produk pertanian, peternakan dan perikanan hasil bumi sendiri, agar lebih dikenal oleh negara lain. Begitu pula kaum akademisi harus didukung pendanaan untuk melakukan riset-riset produktif demi kemajuan ketiga sektor tersebut. Semua itu kuncinya ada di political will negara/pemerintah untuk cepat tanggap guna memperkuat daya saing dan menjadikan pasar sebagai kekuatan (strength of market), seperti layaknya negara China membangun sistem perekonomian mereka. Negara memiliki kewajiban membuka pasar, sebelum meminta produsen memproduksi/membudidayakan sesuatu. Di sinilah regulasi yang memiliki keberpihakan kepada kepentingan nasional-namanya. Khususnya, sektor pertanian, peternakan dan perikanan yang memang menguasai hajat hidup rakyat banyak. Semoga!
*Penulis adalah Petani jengkol, Ketua DPW Insan Tani dan Nelayan (Intani) Jawa Barat, Komite Riset dan Kebijakan DPP Intani, dan Ketua Komunitas Masyarakat Peduli (Kompi) OKU Selatan.