Pengalaman mengajar ini menjadi bagian dari evolusi kesadaran politik Kanafani selain peristiwa Nakba yang menjadi akar politik bagi dirinya.
Ia bercerita, “Ketika saya mulai mengajar, saya menghadapi kesulitan besar dengan anak-anak yang saya ajarkan di kamp. Saya selalu marah ketika melihat seorang anak yang tidur di kelas.”
Setelah menelisik lebih lanjut tentang kehidupan para muridnya, Kanafani tersadarkan kondisi sosial yang mendera anak-anak pengungsi Palestina.
“Saya baru tahu kenapa mereka tertidur di kelas. Anak-anak ini bekerja di malam hari, menjual permen, atau sejenisnya di bioskop dan di jalanan. Dan tentu saja, ini membuat mereka datang ke kelas dengan sangat lelah”
Dari persoalan ini Kanafani menganalisis lebih lanjut dan menjadi sesuatu yang memengaruhi caranya bertutur dalam tulisan-tulisannya.
Situasi yang mendera anak-anak Palestina membawanya pada akar persoalan. Dia memahami bahwa tatkala muridnya tertidur saat belajar bukan disebabkan karena kemalasannya dan ketidaksukaannya terhadap pembelajaran atau karena anggapannya tentang seorang guru yang mungkin galak dan menyebalkan.
Sebaliknya bagi Ghassan Kanafani persoalan yang ada di kelas adalah cerminan dari masalah politik. Persoalan Palestina yang menjadi entitas terjajah.
Pengalamannya menjadi guru mejadi krusial saat dia berimprovisasi dalam mengajarkan materi kepada anak-anak, atau dalam kata lain keluar dari pakem program yang disetujui pemerintah Suriah.
Suatu waktu, Kanafani mengajari anak-anak menggambar apel dan pisang. Setelah ia gambar di papan tulis, ia menangkap keanehan dari raut wajah anak-anak muridnya. perasaan yang asing dan antah-berantah. Sesuatu yang menyadarkan Kanafani bahwa selama ini anak-anak itu belum pernah melihat apel atau pisang.
Kemudian Kanafani teringat tentang sesuatu yang akrab dengan anak-anak Palestina. Tenda pengungsian. Berikutnya Kanafani beralih menggambar tenda pengungsian dan meminta anak-anak untuk ikut menggambarkannya.
Hal ini menyebabkan Kanafani dipanggil inspektur pendidikan dan menyatakan dirinya menyimpang dari program pemerintah.
Pengalaman ini makin menguatkan kesadaran politiknya dan membuat semangat revolusioner membara dalam dirinya. Pergulatan ini membawanya mengambil bagian dalam perjuangan politik. yakni, Pembebasan Palestina.
Kanafani menyadari bahwa pendidikan tak lepas dari persoalan politik. Pendidikan bukan sesuatu yang berdiri sendiri tanpa aspek kehidupan yang lain. Melainkan juga sebagai battle ground, sebagai arena pertempuran ideologi dan kepentingan politik.
Pendidikan di satu sisi dapat menjadi alat pembebasan dan mengangkat harkat martabat kemanusiaan dan di sisi lain dapat menjadi instrumen kekuasaan dan medium membenamkan hegemoni.Dalam hal ini seorang Ghassan Kanafani memilih bersikap melawan. Melanjutkannya dalam sebuah sikap perjuangan yang lebih serius. Perjuangan politik. Perjuangan merebut kemerdekaan. Perjuangan mengangkat harkat dan martabat bangsa Palestina.*
*Penulis adalah Alumni Fisip Universitas Kristen Indonesia (UKI), Anggota Free Palestine Network (FPN) dan anggota Klub Menulis Kabar Kampus.