Oleh: Luerdi, S.IP., M.Si*

Konflik Palestina-Israel yang telah berlangsung selama lebih dari 70 tahun berakar pada migrasi besar-besaran populasi Yahudi ke wilayah Palestina dan deklarasi pendirian Negara Israel pada tahun 1948. Sejak saat itu, konflik ini telah berkembang menjadi isu global yang kompleks dan terus menarik perhatian masyarakat internasional. Hingga kini, Israel telah menjadi anggota penuh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sementara Palestina masih berstatus sebagai negara pengamat non-anggota, dengan rakyat dan pemerintahnya sangat bergantung pada bantuan internasional.
Di seluruh wilayah Palestina yang diduduki Israel, rakyat Palestina menghadapi diskriminasi rasial yang sistemik, menyerupai sistem apartheid yang pernah diterapkan di Afrika Selatan. Melalui pembangunan tembok pemisah, sistem perizinan yang ketat, serta pos pemeriksaan militer, kebebasan bergerak dan aktivitas ekonomi warga Palestina dibatasi secara signifikan. Akibatnya, tercipta ketergantungan struktural bangsa Palestina terhadap sumber daya yang sepenuhnya berada di bawah kendali Israel.
Situasi semakin memburuk akibat penghancuran rumah-rumah dan perampasan tanah milik warga Palestina yang kerap dilakukan oleh aparat keamanan dan pemukim ilegal Israel, meskipun menuai kecaman dari komunitas internasional. Organisasi hak asasi manusia, seperti Amnesty International, menyebut tindakan Israel tersebut sebagai “cruel system of domination” dan “crime against humanity.”
Tidak ada penderitaan yang lebih parah dibandingkan dengan yang dialami warga di Jalur Gaza saat ini—sebuah wilayah padat penduduk yang berada di bawah blokade total Israel melalui darat, laut, dan udara. Sebagai respons terhadap serangan kelompok perlawanan Hamas pada 7 Oktober 2023, Israel melancarkan serangkaian pengeboman tanpa pandang bulu yang telah menyebabkan kerusakan besar pada infrastruktur serta korban sipil yang mengarah pada aksi genosida dan perluasan wilayah pendudukan.
Dilansir dari kanal Aljazeera, saat artikel ini ditulis, tercatat lebih dari 53 ribu warga Palestina meninggal dunia sejak agresi militer Israel tersebut. Warga Palestina yang bertahan di gaza hidup dalam bencana kelaparan sistemik karena Israel sangat membatasi akses bantuan kemanusiaan. Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (OHCHR) telah memperingatkan bahwa kampanye militer Israel dapat menjadi upaya sistematis untuk mengubah komposisi demografis Gaza secara permanen, dengan memaksa lebih dari 1,9 juta warga Palestina untuk mengungsi di dalam wilayah tersebut.
Meskipun Israel terus menerima dukungan politik dari sejumlah pemimpin negara-negara Barat yang menjadi pendukung tradisional Israel, opini publik global mulai bergeser. Melalui penyebaran kontra-narasi di media sosial, gelombang aksi protes pro-Palestina meluas ke berbagai penjuru dunia, mencerminkan solidaritas internasional dan perlawanan terhadap apa yang dipandang sebagai bentuk ketidakadilan sistemik.
Aktivisme transnasional kota-kota
Bersambung ke halaman selanjutnya –>
Gerakan kemanusiaan global terus bangkit. Berani bersikap dan bersuara tentang kebenaran, tidak bisa terus dibungkam dan disandera materi oleh para kapitalis dan yg merasa berkuasa.
Palestina menjadi magnit kebangkitan itu. Jayalah Palestina.
Setuju! Kemanusiaan tidak boleh tunduk pada kepentingan kapital dan kekuasaan. Suara rakyat dunia kini menjadi kekuatan moral yang tak bisa lagi diabaikan. Palestina memang menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan dan kebangkitan nurani global. Semoga dukungan ini terus tumbuh hingga keadilan benar-benar ditegakkan. Free Palestine!
Apa yang terjadi di Gaza bukan sekadar konflik, tapi kejahatan kemanusiaan yang nyata. Saat negara-negara besar diam atau mendukung penjajahan, justru kota-kota dan masyarakat sipil di berbagai belahan dunia yang menunjukkan keberpihakan pada kemanusiaan. Aktivisme transnasional ini adalah bukti bahwa suara rakyat bisa menembus batas negara dan melawan ketidakadilan global.
Tulisan yg sangat bagus dan membuat pribadi ini berfikir bgmn cara menggerakan massa dlm jumlah yg banyak utk bisa bergerak bersama menunjukan aksi nyata dlm Boikot , masih bnyak org2 berhijab /muslim yg nongkrong makan di KFC,Mc Donal’s ,Starbuck dll ( d kota saya tinggal ),setiap melewati nya saya merasa miris dan berfikir mncari cara
Transnasional kota kota pendukung palestina,telah menjadi fenomena Global yang berpengaruh besar dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena Global ini menunjukkan bahwa kesadaran akan hak asasi manusia dan solidaritas dengan Rakyat Palestina dapat menjadi kekuatan yang kuat dalam memperjuangkan keadilan dan Hak asasi manusia. Dengan meningkatnya solidaritas,fenomena Global ini dapat memberikan tekanan pada pemerintah untuk untuk mengambil tindakan yang lebih kongkrit dalam mendikung Pakestina. Oleh karena itu fenomena Global ini harus terus didukung diperkuat untuk mencapai tujuan yang di inginkan.
Situasi ini mencerminkan kegagalan komunitas internasional menegakkan hukum humaniter. Ketimpangan sikap negara-negara besar sungguh mencolok. Ini bukan konflik dua pihak, tapi dominasi sepihak yang terstruktur.