Urgensi Regulasi Pekerja Rumah Tangga dan Praktek di Negara Lainnya
Implementasi regulasi yang jelas bagi pekerja rumah tangga menawarkan berbagai manfaat, termasuk peningkatan Hak Asasi Manusia (HAM) pekerja, kepuasan kerja yang lebih baik, dan kondisi kerja yang lebih baik. Terdapat sejumlah studi yang menunjukkan bahwa lingkungan yang diatur dengan baik dapat meningkatkan kepuasan kerja di antara para pekerja rumah tangga (Yang et al., 2022). Selain itu, regulasi yang melindungi hak-hak pekerja membantu untuk melegalkan jenis pekerjaan ini, memastikan bahwa pekerja rumah tangga menerima upah yang adil dan manfaat, seperti perlindungan kesehatan dan keamanan sosial (Rahim & Islam, 2018; Oktavianti et al., 2024).
Contoh konkret dapat dilihat dalam undang-undang Kasambahay di Filipina, yang telah melakukan langkah signifikan dalam melindungi hak-hak pekerja rumah tangga dengan mewajibkan upah yang adil dan menetapkan batas jam kerja (Oktavianti et al., 2024). Regulasi yang baik berkorelasi dengan penurunan eksploitasi dan diskriminasi terhadap pekerja rumah tangga (Gorbán & Tizziani, 2018). Dengan demikian, kerangka regulasi yang menegakkan standar perburuhan tidak hanya meningkatkan kesejahteraan pekerja tetapi juga mendorong masyarakat yang lebih adil.
Meskipun banyak manfaatnya, pelaksanaan regulasi pekerja rumah tangga menghadapi tantangan yang signifikan di masa depan. Dalam hal ini bila regulasi perlindungan pekerja rumah tangga sudah ada, maka Indonesia juga perlu berinvestasi dalam mendukung implementasi dan tata kelolanya.
Banyak dari pekerja rumah tangga berada dalam pekerjaan informal, tanpa kontrak atau perjanjian formal, yang menyulitkan penegakan hukum (Sa & Liu, 2022; Rahim & Islam, 2018). Di Bangladesh, meskipun regulasi pekerja rumah tangga sudah ada, tetapi sering kali tidak memadai dan tidak ditegakkan dengan efektif, meninggalkan pekerja rentan terhadap eksploitasi (Rahim & Islam, 2018). Di banyak daerah, norma budaya terkait kerja rumah tangga berkontribusi pada informalitas sektor ini, yang menghalangi upaya regulasi (Shalihah & Damarina, 2022). Para pengusaha juga sering kali menolak regulasi ini karena alasan ekonomi, khawatir akan meningkatnya biaya tenaga kerja (Oktavianti et al., 2024).
Di beberapa negara, muncul paradoks terkait kesadaran yang meningkat tentang hak-hak hukum tidak selalu mengarah pada penegakan yang sesungguhnya, karena banyak pekerja rumah tangga enggan untuk menegaskan hak-hak mereka karena takut akan pembalasan atau kehilangan pekerjaan (Fleischer, 2024).
Beberapa negara telah muncul sebagai contoh dalam regulasi pekerja rumah tangga. Contohnya, Selandia Baru dan Jerman telah membangun kerangka kerja komprehensif yang mencakup perlindungan terhadap diskriminasi dan manfaat kesehatan untuk pekerja rumah tangga (Hsu, 2020). Di Amerika Latin, Brasil dan Argentina telah melihat kemajuan signifikan melalui pengesahan hak-hak tenaga kerja untuk pekerja rumah tangga, mencerminkan pengakuan yang semakin besar terhadap kontribusi mereka terhadap masyarakat dan ekonomi negara (Gorbán & Tizziani, 2018).
Praktik baik dari negara-negara ini dapat menjadi rekomendasi bagi penyusunan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Pertama, kerangka hukum yang komprehensif yang mengintegrasi standar internasional. Kedua, mekanisme penegakan yang kuat yang didanai dan staf yang memadai. Ketiga, program sosialisasi aktif yang menginformasikan pekerja tentang hak-hak mereka. Keempat, keterlibatan pekerja rumah tangga dalam proses pembuatan kebijakan untuk memastikan suara mereka didengar (Hsu, 2020; Jokela, 2017).
Proses dan Tantangan Penyusunan Regulasi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga di Indonesia
Bersambung ke halaman selanjutnya –>






