More

    Menyemai Gerakan Literasi Sebagai Praksis Kepribadian Nasional

    Oleh: Putu Ayu Suniadewi*

    Putu Ayu Suniadewi

    Kemerdekaan dan Kepribadian Nasional adalah laksana dua anak kembar yang melengket satu sama lain yang tidak dapat dipisahkan tanpa membawa bencana kepada masing-masing, begitulah petikan pidato presiden Sukarno, tertanggal 17 Agustus 1961, yang termuat dalam terbitan khusus departemen penerangan (kini komdigi) berjudul Resopim (revolusi- Sosialisme Indonesia-pimpinan nasional) (Soekarno, 1961).

    Kepribadian nasional yang dimaksudkan Bung Karno bukan semata-mata perihal identitas  yang terpatri pada KTP, namun mencakup karakter atau ciri khas yang bakal menentukan bagaimana idealnya kita sebagai manusia Indonesia. 

    - Advertisement -

    Karakter manusia Indonesia yang berilmu merupakan salah satu aspek dari kepribadian nasional. Berkarakter ilmu artinya kepribadian yang mengandung kebijaksaaan, nilai luhur, dan amaliah pengetahuan yang memberi penjelasan (Erklaren) dan pemahaman (Verstehen) bagi permasalahan bangsa.  

    Untuk mewujudkan karakter manusia Indonesia yang berilmu, sudah semestinya masyarakat sendiri mengusahakan budaya ilmu. 

    Sebenarnya kita harus resah dengan fenomena SDM rendah, diksi yang berangkat dari kenyataan terhadap berbagai gejala sosial yang seakan-akan mengglorifikasi kebodohan bahkan menganggap kebodohan itu sebagai ladang untuk memperoleh cuan. 

    Seyogyanya keresahan dan kesadaran kolektif mestilah timbul di tengah paradigma kemajuan yang hanya bersandarkan pada yang fisik.

    Sementara di satu sisi kualitas manusia Indonesia sedang dikontruksi hanya pada satu dimensi mekanistik seperti kerja, kerja, kerja yang amat politis dan cenderung menganggap manusia Indonesia hanyalah komoditas kapitalistik.

    Idealnya manusia Indonesia sebagaimana pada umumnya, merupakan makhluk yang multi dimensional sehingga bisa menjadi makhluk yang paradoksal, makhluk yang etik, makhluk yang berbudaya, makhluk yang religius, atau makhluk yang imanen transenden.

    Terasing dari konsepsi manusia yang ideal membuat kita pada akhirnya terjebak kemiskinan multidimensi termasuk kemiskinan secara intelektual. Perkara kemiskinan intelektual bukan semata-mata diukur dari seberapa banyak manusia Indonesia yang bersekolah sampai tamat, apalagi seberapa banyak buku yang dibaca namun seberapa banyak manusia Indonesia yang sadar terhadap budaya Ilmu, menggunakan kapasitas ilmunya untuk membuat dampak, sadar terhadap batasan, dan paham mana yang esensial dan yang tidak. 

    Kemiskinan ilmu ke masyarakat penonton

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here