
Rumeysa Ozturk bisa saja mengatakan banyak hal ketika dia turun dari pesawat di Bandara Logan, Sabtu (10/5)). Dia bisa saja mencaci para petugas Bea Cukai Amerika Serikat (AS) dan Penegak Hukum Imigrasi AS. Atau Ozturk bisa saja mengecam pemerintahan Donald Trump karena mencabut visanya. Namun ia tidak melakukannya. Ozturk merupakan salah satu dari empat mahasiswa yang menulis opini di surat kabar The Tufts Daily pada tahun lalu.
Ozturk baru dibebaskan setelah ditahan selama 45 hari di penjara Louisiana. Ia ditangkap saat sedang perjalanan untuk berbuka puasa di Bulan Ramadhan. Ozturk ditangkap karena mengkritik universitas agar mengakui genosida di Palestina. Ia juga menuntut agar pihak universitas mengungkapkan investasi Israel dan menarik diri dari hubungannya dengan kubu tersebut. “Saya percaya pada sistem peradilan Amerika,” imbuh Ozturk seperti dikutip dari Masslive.
Pada Maret lalu, seorang juru bicara Departemen Keamanan Dalam Negeri, mengatakan adanya penyelidikan kepada Ozturk yang dituduh mendukung Hamas tanpa adanya bukti. “Dia seharusnya tidak ditahan selama satu hari, apalagi 45 hari. Merupakan tindak kekerasan untuk merenggut seseorang dari rumah dan komunitasnya hanya karena keyakinannya,” ujar Direktur Hukum ACLU Massachusetts, Jessie Rossman.
Mereka menganggap bahwa supremasi hukum sedang diserang. Namun jajak pendapat dari Associated Press-NORC Center for Public Affairs Research menganggap bahwa tindakan kebijakan Trump itu terlalu berlebihan. Survei ini merupakan uji opini publik terkini yang menunjukkan kecemasan publik terhadap kebijakan Trump. Begitu pun dengan jajak pendapat dari Pew Research Center yang menemukan sekitar setengah dari orang dewasa AS menganggap Trump terlalu berlebihan.
Hal yang sama dari CNN-SSRS yang menemukan sebanyak 54 persen warga AS meragukan Trump bisa bertanggung jawab atas kekuasaannya. Sementara jajak pendapat dari AP-NORC menunjukkan persentase orang-orang dewasa AS menganggap Trump terlalu banyak kekuasaan dibandingkan era Joe Biden. Temuan-temuan survei ini pun dikabarkan membuat rasa panik di kalangan Partai Demokrat karena tindakan agresif Trump dalam agendanya tentang konflik Israel-Palestina.






