
Menyikapi polemik pernyataan Presiden terkait Israel dan Palestina di hadapan Presiden Macron dan delegasi Prancis, Sekretaris Jenderal Free Palestine Network (FPN), Furqan AMC, mengingatkan agar kita waspada dengan jebakan Kolonialisme-Imperialisme.
“Perlu ditegaskan bahwa Indonesia dan Presiden Prabowo selama ini telah menunjukkan konsistensi dalam mendukung kemerdekaan Palestina, terlihat dari pidato-pidato yang secara tegas menentang imperialisme dan apartheid. Namun, di tengah lanskap diplomasi yang kompleks, ketidaktepatan dalam pemilihan bahasa dapat menjadi celah yang dapat dimanfaatkan oleh imperialisme,” tegas Furqan.
Oleh karena itu menurut Furqan, konsistensi ini perlu dijaga dan diwaspadai dengan penuh kehati-hatian dalam berdiplomasi. Komitmen terhadap Palestina tidak boleh dirusak oleh pendekatan normatif yang ambigu, apalagi jika dapat dimanfaatkan untuk menciptakan kesan keliru tentang perubahan arah politik luar negeri Indonesia.
“Indonesia harus tetap teguh, menolak segala bentuk normalisasi dengan Israel sampai semua hak rakyat Palestina sepenuhnya ditegakkan—bukan hanya dijanjikan. Sikap ini sejalan dengan konstitusi Indonesia dan sejarah panjang perjuangan anti-kolonialnya,” tegas Furqan lebih lanjut.
“Saat ini, Palestina sesungguhnya adalah front terdepan anti-kolonialisme/ imperialisme, sedangkan Israel adalah benteng terakhir dari kolonialsme/imperialisme, jelas Furqan.
Israel terus memblokade dan menghancurkan Gaza. Bahkan para elite Israel, termasuk PM Netanyahu, secara terbuka menyatakan ingin mengosongkan Gaza dan meminta negara-negara lain untuk menampung warga Gaza. Di saat yang sama, Israel juga melanjutkan proyek pembangunan permukiman ilegal di Tepi Barat.
Semua tindakan Israel ini menunjukkan bahwa Israel sedang menuju dibentuknya “Israel Raya”, sama sekali tidak berniat mewujudkan ide “dua negara yang hidup berdampingan.”
“Israel harus dimintai pertanggungjawaban melalui pengadilan di Mahkamah Internasional (ICJ) dan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas kejahatan genosidanya terhadap rakyat Palestina,” pungkas Furqan.
Saya lebih melihatnya sbg: Pak Presiden sdg mencari panggung di dunia global, kalimat retorika. Karena sdh diketahui syarat “Palestina merdeka” masih sangat berat.
Pilihan statement nya kurang pas, (1) dunia sedang bergerak melawan Israel, memaksa dibukanya blokade bantuan (2) Perancis akan meninjau ulang hubungan diplomasinya dg Israel, walau ini mungkin basabasi.
Jadi mestinya pak Prabowo tak perlu gamblang menyebut dukungannya pd Israel.
Solusi dua negara yang disesumbarkan oleh negara-negara di kawasan tidak realistis. Realitanya, Israel sebagai ekesistensi ilegal itu sendiri menolak mengakui Palestina. Sebagai warga dalam negara yang pro-Palestina, saya ingin berbaik sangka, dengan berharap semoga itu hanya siasat penyelenggara pemerintah dalam membuka kedok entitas Zionis. Sebagai warga negara yang pro-Palestina sekaligus warga dunia, sudah saatnya bangsa ini punya sikap lebih tegas terutama dalam hal boikot. Bukan untuk apa-apa, ini untuk menekan entitas kolonialisme.
Setuju. Komentar ini mencerminkan kepedulian dan ketegasan moral terhadap isu penjajahan dan hak asasi manusia. Solusi dua negara memang sering dijadikan ilusi diplomatik, padahal realitanya timpang. Dukungan terhadap Palestina semestinya disertai dengan aksi nyata, termasuk tekanan ekonomi dan politik seperti boikot. Sudah waktunya negara-negara yang mengaku mendukung kemerdekaan Palestina menunjukkan sikap yang lebih konkret.
Pernyataan FPN sangat tepat dan patut diapresiasi.
Sebagai warga negara dari bangsa yang konstitusinya menolak segala bentuk penjajahan, kita perlu bersikap lebih tegas.
Dan salah satu bentuk sikap konkret adalah dengan memperkuat gerakan boikot dan membawa Israel ke meja keadilan internasional. Palestina adalah front terakhir anti-kolonialisme, dan kita harus berdiri di barisan yang benar.
kak EVI,
kami melihatnya tulisan pada kalimat, “Indonesia harus tetap teguh, menolak segala bentuk normalisasi dengan Israel sampai semua hak rakyat Palestina sepenuhnya ditegakkan—bukan hanya dijanjikan…..”.
kalimat diatas mengandung multi fafsir dan ambigu, setidaknya menyisakan tanda tanya besar dibelakn kalimat sersebut.
Pertanyaanya adalah bila kemudian kedepannya semua hak rakyat Palestina sepenuhnya ditegakkan (baca : MERDEKA), apakah kita harus juga masih tetap menerima entitas zionis sebagai suatu negara berdaulat ??.
Sedangkan kemudian salah satu jawabannya dijawab pada kalimat “Semua tindakan Israel ini menunjukkan bahwa Israel sedang menuju dibentuknya “Israel Raya”, sama sekali tidak berniat mewujudkan ide “dua negara yang hidup berdampingan.”
terakhir pertanyaannya, bila semua kejahatan entitas zionis dapat disidangkan dan semua pelaku kejahatan ditahan. apakah entitas israel sebagai suatu “Negara”, dapat bebas ??,
Tidak ada solusi dua negara karena Israel bukanlah sebuah negara, Israel adalah pengungsi yg memanfaatkan kebaikan palestina.dan sekarang menjajah palestina.
Cita cita Indonesia terdapat di UUD 45 alinea pertama bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, bukan nya di akui keberadaan nya.
Israel harus enyah dari Palestina seperti Belanda yg enyah dari Indonesia. itulah inti dari kemerdekaan berdiri utuh tidak dibagi dua.
Saya rasa BPK Prabowo harus berhati-hati dalam berbicara apalagi beliau seorang kepala negara, jangan mengkhianati para pahlawan pejuang kemerdekaan Indonesia, mereka akan menangis jika mendengar perkataan pak Prabowo.
Aneh betul jika Israel, si penjajah tanah Palestina ingin diberi ruang, diberi angin segar, diberi harapan atau apapun itu namanya. Dimana-mana yang namanya perampas hak bangsa lain yah harus dienyahkan. Lebih tepatnya disuruh mundur, dipaksa menyetop kezalimannya.
Indonesia dan presidennya tetap wajib tegas mengatakan tidak pada Israel. Ini yang mesti rakyat kawal nih. Jangan sampai permainan bahasa justru menempatkan republik ini di titik bingung.
Zionis adalah penjajah. Palestina adalah bangsa yang sedang terjajah. Maka tidak ada celah untuk Bangsa Indonesia berbaik-baik dengan pihak penjahat kemanusiaan seperti Israel.
Pidato Pa Presiden terkait pengakuan terhadap eksistensi rezim zionis israel di tengah – tengah pemusnahan terhadap warga Gaza (walaupun dengan syarat Palestina merdeka) momentumnya tidak tepat. Pasalnya, warga Gaza sekarang sedang diperlakukan seperti bukan manusia, dibiarkan sekarat, dibom dalam keadaan kelaparan, perbatasan masih diblokade, krisis kesehatan, dan segala macam bentuk2 penindasan dan penderitaan sengaja dibiarkan terjadi di sana.
Selama ini, Indonesia menjadi harapan orang2 Gaza maupun Palestina secara umum, karena Indonesia tidak memiliki hubungan diplomasi yang artinya benar2 berpihak sejak dulu. Selanjutnya Indonesia di mata orang2 Palestina adalah negara dengam penduduk Muslim terbanyak, yang sejauh ini paling konsisten dalam membela Palestina.
Saya membayangkan, bagaimana perasaan mereka ketika mendengar pidato itu, dengan kondisi mereka sedang dilaparkan, sekarat dan krisis multidimensi dan tak satudetikpun genosida berhenti.
Apalagi kita semua tahu, jika rezim zionis tidak pernah memegang janji mereka, alias selalu berbohong, manipulatif dan memang tidak ada tekad untuk menciptakan kedamaian di sana.
Saya juga agak kecewa mendengar pidato Pa Presiden. Harusnya lebih berani dikitlah untuk menyerukan kebutuhan mendesak serta seruan terhadap pembukaan perbatasan dan masuknya bantuan kemanusiaan.
Mengingat, bantuan kemanusiaan yg masuk hanya sedikit, itupun dg bayaran pembebasan tawanan tentara zionis berdarah Amerika. Selain itu, pembagiannya sangat tidak manusiawi. Warga Gaza yang sedang lapar dikrangkeng seperti bukan manusia. Tidak cukup sampai di situ, mereka juga ditembaki dengan gas air mata dan peluru hingga tak sedikit yg syahid
Si Macron tak layak mendapatkan sikap ramah, karena dia termasuk salah 1 orang yg terlibat dalam mendanai genosida.
Free Palestine dari hatinurani yang sedang terluka
From the river to the sea, Palestine will be free forever✊
Saya sepakat dengan klarifikasi Pak Sekjen FPN.
Pak Presiden Prabowo seharusnya memberikan pernyataan yang tegas, tetap berjuang untuk memastikan Palestina Merdeka tanpa memberikan imbuhan kata Israel.
Ini akan memberikan celah kontra bahwa Indonesia juga seolah menyetujui adanya keberadaan zionis.
pernyataan Presiden terkait Israel dan Palestina di hadapan Presiden Macron dan delegasi Prancis, “dibawah tekanan”.
Bila dikatakan tulisan kami hanya opini silahkan tapi, dilihat dari Perubahan narasi dan diksi berbalik 180 derajat pernyataan Presiden terkait Israel berawal atau setelah kunjungan erdogan presiden turki, kemudian Pak Probowo melakukan lawatan ke Uni Emirat Arab (UEA), Turki, Mesir, Qatar hingga Yordania. (baca: negara poros normalisai dengan zionis)
Terakhir, makron presiden prancis dan utusan khusus PM inggris temui Prabowo.
Ini semua menyiratkan Pak Prabowa dan Indonesia ingin direalisasikan masuk kedalam poros normalisasi yang isu itu telah mengemukan beberapa bulan yang lalu.
Kita tahu mengerucut hanya dua kekuatan yang sedang bertarung dengan zionis israel
dan Palestina sesungguhnya adalah front terdepan anti-kolonialisme/ imperialisme, sedangkan Israel adalah benteng terakhir dari kolonialsme/imperialisme.
dan Kekuatan itu adalah POROS PERLAWANAN (MUKAWAMAH) dan Poros normalisasi
Hingga kapanpun Israel bukan negara,namun Israel adalah penjajah di Palestina yg harus dihapuskan dan dienyahkan, dari peta dunia.
Bangsa dan rakyat Indonesia tdk boleh tunduk pada penjajah
Boikot produk produk yg mendukung hidupnya penjajah
# free free Palestine
DASAR SOLUSI DUA NEGARA, TIDAK BERPIJAK PADA PENDAPAT DEMOKRATIS.
Muncul pertanyaan yang menarik terhadap pernyataan Pak Prabowo ini.
Apakah Republik Indonesia dalam kasus Palestina, sedang dijebak dalam “Solusi dua negara” ?
Ataukah jutru Pak Prabowo sedang menggunakan bidak permainan catur strategi yang justru menempatkan Indonesia konsisten dalam “Politik Bebas Aktifnya” ?
Tentu saja negoisasi diplomatik itu dengan imiplikasi keuntungan yang ditawarkan bila mendukung solusi dua negara dan sejumlah tekanan dan “sanksi” bila menolak solusi tersebut ?
Apalagi pernyataan itu dikeluarkan, usai secara maraton sejumlah pemimpin negara pro normalisasi dan pro solusi dua negara bertemu dengan Bapak Presiden.
Tetapi ada yang menarik jika menengok perkembangan terhadap isu “solusi dua negara baik di kubu “insiders” (kubu yang berkepentingan dalam krisisi tanah Palestina) yakni; kubu Israel maupun kubu Palestina” dan “Outsiders” yakni Amerika dan jaringanya sebagai penggagas solusi itu.
Sengaja dgunakan istilah Insiders dan outsiders, sebuah istilah yang kerap digunakan dalam praktek-praktek pembangunan demokrasi melalui program² partisipatif, yang diusung oleh lambaga² founder dari Amerika dan Eropa.
Artinya apa ? Hal ini untuk mengukur konsistensi Amerika dan Eropa yang kemudian menggerakan sekutunya di Asia Barat untuk mendukung “Solusi dua Negara” itu memang berangkat dari suara partisipatif pihak Israel maupun Palestina ? Yang pada giliranya ia berangkat dari semangat menegakkan demokrasi. (Terlepas legal atau tidak legal terhadap pendudukan Israel atas Palestina), kita hanya ingin mengukur apakah negara² yang mendaku sebagai “Dewa Agung Penjaga Demokrasi” ini konsisten dengan semangat Demokrasi itu sendiri.
Kalau dilihat secara partisipatif “Solusi dua negara” itu tidak mewakili kepentinga Israel sendiri apalagi Palestina.
Alasanya,
1. Dasar hukum “Solusi dua negara” ditetapkan oleh outsiders (orang luar) dari dua negara yang bertikai, seperti diketahui, bahwa solusi dua negara itu ditetapkan oleh ;
• Resolusi PBB No. 181 (1947)
Resolusi ini merupakan dasar pertama yang mengusulkan pembagian Mandat Palestina menjadi dua negara: Yahudi (Israel) dan Arab (Palestina), dengan Yerusalem berstatus corpus separatum di bawah kendali internasional.
Meski Resolusi ini ditolak oleh negara-negara Arab tetapi tetap menjadi landasan legal awal solusi dua negara .
Perhatikan sejak awal, solusi dua negara itu sudah tidak demokratis malah ditetapkan sebagai landasan pacu bagai keputusan berikutnya
– Resolusi DK PBB No. 242 (1967)
Resolusi ini sebagai lanjutan resolusi diatas, yang menyerukan penarikan Israel dari wilayah yang diduduki pasca-Perang Enam Hari (Tepi Barat, Gaza, Yerusalem Timur) sebagai imbalan pengakuan kedaulatan Israel oleh negara-negara Arab. Dengan kata lain, Palestina digunakan sebagai nilai tawar untuk pembebasan wilayah Arab yang diduduki Israel, dengan sedikit meminta menarik pasukan, bukan menekankan pelaggaran atas kedaulatan, secara ekstrim tanah Palestina digunakan sebagai alat tawar kepentingan Arab, dengan menggunakan Prinsip “land for peace” (tanah untuk perdamaian) yang kemudian menjadi inti solusi dua negara .
– Resolusi Majelis Umum PBB No. A/RES/67/19 (2012)
Kemajuan yang menguntungkan bagi rakyat Palestina melalui resolusi ini adalah, Meningkatkan status Palestina menjadi “non-member observer state” dan menegaskan hak rakyat Palestina atas wilayah pendudukan 1967 .
Yaaah ningkat dikitlah, tapi lagi-lagi ia bukaj suara murni Palestina, tapi suara negoisasi kepentingan Arab Barat dengan bidak caturnyanadalah israel
– Opini Penasihat Mahkamah Internasional (ICJ, 2004)
Yang menyatakan pembangunan tembok pemisah Israel di Tepi Barat melanggar hukum internasional dan menghambat terwujudnya negara Palestina . Opini outsiders ini bisa dipahami dari dua oponi, bahwa Israel adalah kolonialis yang harus keluar, tetapi oponi terkuat adalah sebagai dasar “solusi dua negara”
Prakarsa Perdamaian Arab (2002)
Didesain oleh Liga Arab, menawarkan normalisasi hubungan Arab-Israel jika Israel menarik diri dari wilayah pendudukan 1967 dan menerima negara Palestina merdeka . Prakarsa Liga Arab disini lagi-lagi sama seperti prakarsa Barat, yang menggunakan Palestina sebagai alat negoisasi kepentingan.
Artinya, dari sisi dasar hukum internasional sendiri, “solusi dua negara” adalah solusi kelompok luar (outsider) yang boleh jadi prosesnya tidak demokratis…
Dan apakah pemeritahan Pak Prabowo tahu hal ini ? Tentu sangat tahu dan jauh lebih tahu…
Bagaimana pandangan yang bertikai yakni Israel sebagai Penjajah dan Palestina sebagai yang dijajah
*APAKAH PAK PRABOWO SEDANG MELAKUKAN KOMUNIKASI DIPLOMASI DENGAN MELAKUKAN MANUVER DIPLOMATIK YANG MENUNJUKKAN REALITAS LAPANGAN YAITU PENOLAKAN PADA SOLUSI DUA NEGARA BAIK DARI KUBU ISRAEL DAN PALESTINA
Indonesia sebagai negara penduduk dengan pemeluk Islam yang besar, tampaknya cukup sexy untuk dirayu keberpihakannya dalam poros “Normalisasi” oleh Presiden Turki, Prancis maupun Inggris dalam lawatan ataupun kunjungan balasan.
Tetapi ada yang menarik dengan data-data diatas, yang menimbulkan berbagai spekulasi terhadap pernyataan Pak Prabowo…
Kalau tidak salah (barangkali bisa ditanyakan kepada Dr. Dina Sulaeman yang berlatar HI)
Bahwa dalam komunikasi diplomatik ada istilah resmi diplpmasi yang dinamakan dengan Coercive Diplomacy atau Diplomasi Kekerasan, lebih tepatnya disebut dengan : “Carrot and Stick Diplomacy” (Diplomasi Umpan dan Tongkat), yakni, diplomasi dengan menawarkan “umpan” atau “carrot” berupa insentif atau kompensasi (bantuan ekonomi, kerja sama strategis, dll.) jika negara lain mendukung kebijakan atau posisi tertentu dan memberikan tongkat (stic berupa tekanan (sanksi, ancaman militer, isolasi diplomatik) jika negara tersebut menolak…
Dan apakah Turki, Prancis serta Inggris menggunakan strategi diplomasi umpan dan tongkat untuk menjerat Indonesia ?
Sedangkan pidato Pak Prabowo sebagai representasi negara Indonesia yang menganut prinsip Non Blok Bebas Aktif dan mendukung kemerdekaan Palestina sedang melakukan komunikasi diplomatik “Hedging Strategy” atau “diplomasi “lindung nilai” dengan menjalin hubungan dengan kedua pihak yang beda poros. Dengan membuat pernyataan dari data anomali, bahwa solusi dua negara adalah fakta yang tak disetujui oleh pihak penjajah Israil dan terjajah Palestina, hanya pihak outsiders yang ngotot dengan solusi dua negara, yang hanya memanfaatkan Palestina sebagai bahasa negoisasi diplomatik untuk memberi tekanan…
Rakyat Indonesia harus diiakui belum setangguh Iran, boleh jadi baru di embargo dua hari saja hari ketiga langsung chaos…
Yang lebih penting adalah FPN tetap mengingatkan Presiden, dan memberikan edukasi ke masyarakaat tentang bahasa diplomasi, jangan sampai jebakan poros normalisasi ini seperti “suduk gunting tatu loro” seperti bila gunting yang dapat menusuk dua hal sekaliguas kepentingan geopolitik dan kepentingan nadional… ada persepsi yang dianggap menguntungkan eksistensi israel disatu sisi, disisi yang lain menjadi bahan bakar yang dapat digoreng untuk kepentingan politik bahkan digunakan oleh anasir poros normalisasi untuk menggerakkan masa menekan pemerintah…
Maka disinilah peran kunci memahami Palestina dan bahsa diplomatik Presiden secara ilmiah
PANDANGAN PIHAK INSIDER (PALESTINA & ISRAEL) TERHADAP SOLUSI DUA NEGARA
Jika diperhatikan, pihak yang bertikai dalam hal ini Israel (sebagai penjajah) dan Palestina (sebagai negara yang dijajah), sama-sama, MENOLAK SOLUSI DUA NEGARA.
PIHAK ISRAEL
Pihak Israel, secara Resmi Menolak solusi dua negara, Netanyahu pada Januari 2024, menyatakan:
“Israel harus mengontrol keamanan seluruh wilayah barat Sungai Yordan. Ini bertentangan dengan kedaulatan Palestina.”
Resolusi Knesset (pada Juli 2024) sebuah pernyataan Parlemen Israel yang menyetujui resolusi penolakan pembentukan negara Palestina dengan suara 68:9 dengan alasan
1. Alasan Keamanan: Israel berdalih, mereka khawatir negara Palestina Merdeka akan menjadi basis serangan terhadap Israel.
2. Alasan Agama/Historis, Israel mengklaim atas seluruh Yerusalem dan Tepi Barat sebagai “tanah leluhur Yahudi”. (Meski alasan ini mengada ada, sebagaimana ditunjukan oleh Dr. Dina Sulaeman, atau dijelaskan oleh Paul Findley, mantan senator Amerika dalam bukunya “Diplomasi Munafik”.
3. Alasan Pemukiman Yahudi, Lebih dari 600.000 pemukim Yahudi di Tepi Barat yang menjadikan penarikan diri secara politik sulit dilakungan
kendati menolak, di tubuh Israel sendiri ada yang mendukung meskipun dukungan Terbatas, seperti dukungan dari Mantan Pemimpin Israel Ehud Barak & Ehud Olmert (2023), mereka mendukung solusi dua negara sebagai satu-satunya jalan perdamaian, meskipun gagal mencapai kesepakatan saat menjabat .
Dari sisi Israel saja “Menolak” solusi dua negara.
Bagaimana Palestina ?
DARI TAHUN 1944 sd 1988 PALESTINA MENOLAK SOLUSI DUA NEGARA
Alasannya, menganggap pembagian wilayah dalam Resolusi PBB 181 tidak adil karena 56% wilayah diberikan kepada Yahudi yang saat itu hanya menguasai 20% tanah dan merupakan minoritas populasi.Penolakan dinyatakan oleh Komite Tinggi Arab dan Liga Arab
1988 PALESTINA MENGALAMI POLARISASI TERHADAP SOLUSI DUA NEGARA
1988 Yasser Arafat (ketua PLO) secara resmi menerima solusi dua negara berdasarkan batas 1967, dengan ibu kota di Yerusalem Timur. Pernyataan ini dianggap sebagai pengakuan tidak langsung terhadap Israel
Perjanjian Oslo (1993)
Pihak yang melakukan perjanjian ini adalah PLO dan Israel yang saling mengakui dan berkomitmen pada proses perdamaian berbasis solusi dua negara. Apakah PLO representasi rakyat Palestina ?
Dalam Deklarasi Beijing (2024) faksi Fatah Palestina mendukung solusi dua negara dalam pertemuan di China. Tetapi sekali lagi apakah Fatah adalah representasi Palestina, sedang di Palestina terdapat setidaknya 14 faksi.
Posisi Hamas melalui Piagam 2017 menyatakan kesediaan menerima negara Palestina di batas 1967 tanpa mengakui Israel, dengan kata lain menolak solusi dua negara
Yang pada akhirnya secara umum dapat disimpulkan PALESTINA MENOLAK SOLUSI DUA NEGARA.
Dan pertanyaan sederhananya adalah, apakah Pemerintah Republik Indonesia, khususnya Departemen Luar negeri dari meja Palestina tidak memahami perjalanan sikap Palestina dan Israel terhadap solusi dua negara ini ? Tentu sangat tahu…
Mang Taufik Asegaf NKRI Pancasila selagi masih minus wilayah kepemimpinan Amirul mukminin imam Ali as. Seterusnya akan gaduh!