Antara WTO dan Kepemimpinan Nasional
Langkah Presiden Jokowi menunjukkan karakter pemimpin yang berani mengambil risiko. Ia sadar bahwa keputusan ini bisa merenggangkan hubungan dagang, bahkan memicu embargo, namun tetap teguh demi kepentingan nasional. Dalam perspektif teori kepemimpinan internasional, Jokowi bisa dikatakan memiliki gaya task-oriented leader—pemimpin yang berorientasi kuat pada penyelesaian masalah dan pencapaian tujuan domestik.
Langkah ini juga menggambarkan economic sovereignty, bahwa Indonesia berhak atas sumber dayanya dan berhak pula mengatur bagaimana sumber daya itu dimanfaatkan untuk kesejahteraan nasional. Meski dibenturkan dengan hukum internasional, argumen moral dan politik Indonesia tetap kuat: kekayaan alam harus memberi manfaat maksimal bagi rakyat, bukan hanya menjadi objek eksploitasi global.
Apa Dampaknya bagi Dunia?
Jika Indonesia berhasil membangun ekosistem industri berbasis nikel, maka posisi tawarnya akan meningkat secara drastis. Produk seperti baterai kendaraan listrik dan baja tahan karat bisa menjadi komoditas utama, bukan hanya bahan mentahnya.
Namun bagi negara seperti Uni Eropa, ini adalah pukulan berat. Mereka tidak hanya kehilangan pemasok murah, tapi juga harus bersaing dengan Indonesia dalam industri bernilai tambah. Artinya, konflik ini bukan semata soal aturan dagang, tapi juga soal rebutan kendali ekonomi global.
Penutup: Saatnya Berani Berdaulat
Indonesia memang kalah di WTO, tapi menang di ranah keberanian politik dan visi jangka panjang. Dengan tetap melanjutkan kebijakan pembatasan ekspor bahan mentah, bahkan kini ke bauksit dan mineral lain, Indonesia sedang membangun fondasi ekonomi baru: dari negara eksportir bahan mentah menjadi negara industri.
*Penulis adalah Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Andalas.






