Sejak Mei 2025, lebih dari 1.000 warga Palestina dilaporkan tewas saat mencoba mengakses bantuan, sebagian besar di dekat pos distribusi GHF. Upaya menjatuhkan bantuan melalui udara juga kembali dilakukan, tetapi banyak dari paket tersebut jatuh ke wilayah evakuasi atau tercebur ke laut.
Tak sedikit warga yang nekat berenang untuk mengambil karung-karung bantuan yang basah dan rusak. Sejak pecahnya perang pada Oktober 2023, lebih dari 89 anak-anak dan 65 orang dewasa di Gaza tewas karena kelaparan. Namun, pemerintah Israel terus membantah adanya kelaparan, dan menyebut laporan-laporan tersebut sebagai pengganggu upaya gencatan senjata.
Menariknya, penolakan terhadap operasi militer juga muncul dari dalam Israel sendiri. Sejumlah remaja di Tel Aviv membakar surat wajib militer mereka sebagai bentuk penolakan untuk bergabung dengan militer pendudukan Israel (IOF).
Aksi tersebut mendapatkan dukungan dari para refusenik (menolak wajib militer) senior, yang sebagian telah menjalani hukuman penjara akibat keputusan serupa. “Negara Israel melakukan genosida dan adalah tugas kita adalah melawan,” ujar seorang orator.
Kondisi di Gaza kini bukan hanya soal konflik politik dan militer, tetapi soal kemanusiaan. Krisis yang berlangsung mengingatkan kita semua termasuk mahasiswa dan masyarakat sipil akan pentingnya solidaritas global dan kesadaran kritis terhadap isu-isu hak asasi manusia.






