More

    UPH Pelopori Dialog Lintas Sektor soal Performing Rights, Dorong Ekosistem Musik yang Adil

    Seminar Nasional bertajuk “Aspek Hukum dan Bisnis Performing Rights dalam Industri Musik di Indonesia”, yang diselenggarakan Mahasiswa Program Studi Magister Hukum Batch 55 UPH, Rabu, (23/7/2025) di Auditorium Gedung D, UPH Kampus Lippo Village, Karawaci, Tangerang. (ist)

    TANGGERANG, KabarKampus – Setiap kali kita menikmati lagu di kafe, konser, atau platform digital, ada satu aspek penting yang sering terabaikan: performing rights—hak atas pertunjukan karya musik di ruang publik. Di Indonesia, hak ini sebenarnya sudah dilindungi melalui UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta serta diperkuat dengan PP Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti. Namun, implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan: mulai dari multitafsir regulasi, lemahnya penegakan hukum, hingga rendahnya kesadaran publik dalam menghargai karya intelektual. 

    Menjawab urgensi tersebut, Universitas Pelita Harapan (UPH) mengambil peran aktif sebagai pelopor dialog lintas sektor. Mahasiswa Program Studi Magister Hukum Batch 55 UPH menginisiasi Seminar Nasional bertajuk “Aspek Hukum dan Bisnis Performing Rights dalam Industri Musik di Indonesia”, yang diselenggarakan pada Rabu, 23 Juli 2025 di Auditorium Gedung D, UPH Kampus Lippo Village, Karawaci, Tangerang. Acara ini turut dihadiri lebih dari 400 peserta yang mencakup berbagai kalangan, mulai dari akademisi, praktisi hukum, pemerhati musik, pengusaha hingga mahasiswa. 

    Dalam sambutannya, Dr. Velliana Tanaya, S.H., M.H., Executive Dean of College of Arts and Social Sciences sekaligus Dekan Fakultas Hukum UPH, menekankan pentingnya memahami hak cipta di tengah pesatnya pertumbuhan industri kreatif. Lebih lanjut, ia berpesan,” Saya ingin mahasiswa yang hadir di sini tidak hanya pulang dengan ilmu, tapi juga dengan jejaring baru. Karena di era sekarang, kolaborasi adalah kunci.” 

    - Advertisement -

    Menjaga Ekosistem Musik Indonesia 

    Salah satu sorotan utama seminar datang dari Vibrasi Suara Indonesia (VISI), sebuah organisasi yang digagas para musisi untuk memperjuangkan keadilan royalti. Hadir sebagai narasumber, Armand Maulana (Ketua Umum VISI), Ariel Noah (Wakil Ketua Umum), Judika, dan Bunga Citra Lestari membagikan keresahan mereka terhadap ketidakjelasan sistem saat ini. 

    Armand menuturkan, keresahan ini mencuat saat publik dikejutkan oleh kasus pelanggaran hak cipta yang menimpa Agnes Monica. Belum selesai satu kasus, nama Vidi Aldiano dan Lesti Kejora juga terseret dalam perkara serupa. VISI pun kini tengah mengajukan uji materi UU Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

    “Kegalauan ini bukan milik satu orang, tapi kami semua merasakannya. Kami butuh penafsiran hukum yang jelas dan resmi dari lembaga tertinggi,” tegas Armand.  

    Senada dengan Armand, bagi Ariel, langkah mengajukan uji materi UU Hak Cipta ke MK adalah bagian dari upaya menyelamatkan masa depan industri musik Indonesia. “Ini bukan cuma soal ekonomi. Kalau dibiarkan, yang rusak bukan cuma hak cipta, tapi seluruh ekosistem musik Indonesia,” ujarnya. 

    Bunga Citra Lestari juga menegaskan pentingnya perlindungan terhadap pencipta lagu. “Hampir semua penyanyi sekarang juga menciptakan lagu. Kalau haknya tidak dilindungi, kami sulit berkarya dengan tenang. Kalau pencipta terus dirugikan, industri ini bisa rusak,” kata perempuan yang akrab disapa BCL ini. 

    Sementara itu, Judika menyoroti pentingnya kepastian hukum bagi seluruh pelaku industri. “Saya ingin aturan yang jelas, berdasarkan hukum, dan tidak ada monopoli. Semua pihak harus tunduk pada aturan yang adil,” ujarnya. 

    Menjembatani Kreator dan Pengguna Musik 

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here