Selama enam bulan, ia bekerja dari pukul 10 pagi hingga 6 sore dengan bayaran Rp30 ribu per hari. Meski tidak besar, ia merasa dihargai karena dipercaya mengelola keuangan toko tersebut. Sebagai anak rantau yang hidup dalam kos sederhana, mengandalkan beasiswa, dan tetap bertahan di tengah keterbatasan, Oci memahami bahwa kuliah bukan kemewahan, melainkan perjuangan.
Satu pesan dari orang tuanya selalu ia pegang adalah, “Jaga kepercayaan kami. Kamu kuliah jauh-jauh ke Karawang, pulanglah bawa hasil yang baik.” ucap Oci
Kini, pesan itu telah ditunaikan. Oci lulus dengan IPK 3,98 yang membuktikan bahwa keterbatasan bukan alasan untuk menyerah, melainkan pijakan untuk melompat lebih tinggi.
Ia bercita-cita untuk berkarir di industri manufaktur, menjadi bagian dari lini produksi, atau memegang peran strategis yang sejalan dengan keilmuannya. “Mah, Pah, Oci pulang. Ini bukti dari harapan yang selama ini Oci pegang. Doakan Oci, ya. Oci masih punya cita-cita lain di dunia industri,” ujarnya, sambil menahan air mata.
Bagi Oci, ini bukan sekadar cara menambah pemasukan, tetapi juga sebagai wadah untuk mengasah keterampilan, membangun jejaring, dan mempersiapkan diri menghadapi dunia kerja setelah lulus. Meski membutuhkan manajemen waktu yang baik dan ketahanan mental, kuliah sambil bekerja terbukti mendorong mahasiswa menjadi lebih mandiri, bertanggung jawab, dan adaptif dalam menghadapi tantangan masa depan.






