Tak heran jika dunia kerja pun cenderung memilih lulusan PTN, memperkuat persepsi bahwa lulusan PTS kurang siap pakai. Bahkan menurut data APTISI, sebanyak 30% atau sekitar 800-an PTS di Indonesia telah gulung tikar. Masalah klasik seperti buruknya manajemen, citra lembaga, dan kurangnya adaptasi terhadap kebutuhan pasar menjadi penyebab utama.
Situasi ini tidak bisa dibiarkan berlarut. Pemerintah harus hadir sebagai pengatur sekaligus penyeimbang ekosistem pendidikan tinggi. Langkah-langkah yang bisa dilakukan antara lain adalah Pembatasan kuota maksimal di PTN agar tidak menggerus peluang PTS. Lalu insentif pajak dan dukungan riset untuk PTS.
Diperlukan juga Kolaborasi PTN dan PTS dalam pengembangan kurikulum dan riset. Hal ini perlu ditambah oleh perluasan beasiswa KIP bagi mahasiswa PTS. Artinya, sudah saatnya kita memandang pendidikan tinggi bukan sebagai kompetisi bebas, tetapi sebagai ekosistem kolaboratif.
PTN dan PTS adalah dua sayap Garuda yang harus sama-sama kuat agar bangsa ini bisa terbang tinggi. PTS juga harus berbenah dengan memperkuat kualitas pengajaran, menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan industri, hingga menghadirkan suasana kampus yang kondusif bagi mahasiswa.
Sementara itu, PTN harus menahan godaan mengejar kuantitas demi mutu. Jika tidak, hanya akan menghasilkan lulusan melimpah tapi rapuh menghadapi tantangan global. Indonesia bukan negara kapitalis, bukan pula sosialis. Kita negara Pancasila yang menjunjung asas gotong royong.
Dalam pendidikan, itu berarti harus saling mendukung, bukan saling menggerus.







Ketimpangan ini terjadi akibat adanya kapitalisme yakni korupsi dana rakyat termasuk pendidikan sehingga mau tidak mau universitas memungut biaya yang tinggi. Selain itu feodalisme di dunia pendidikan yang menganggap universitas ini top sedangkan universitas itu tidak top. Solusinya adalah revolusi dengan hapuskan kelas yang menyebabkan ketimpangan pendidikan, sita aset para koruptor, dan ganti semua kepemimpinan khususnya universitas dari kapitalisme menuju sosialisme.