
Aksi mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad) mewarnai depan Gedung DPR RI, Jumat (5/9). Ribuan mahasiswa turun ke jalan dengan nuansa damai, namun membawa pesan serius, yaitu mendesak pemerintah dan DPR memenuhi tuntutan 17+8 yang telah disampaikan sejak beberapa waktu lalu.
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unpad, Vincent Thomas, menegaskan bahwa aksi kali ini bukan sekadar demonstrasi simbolis. Tenggat waktu yang ditetapkan mahasiswa jatuh pada hari itu, dan bila hingga pukul 16.30 WIB belum ada realisasi, dianggap sebagai bukti lemahnya komitmen wakil rakyat.
Aksi ini sekaligus menandai gelombang baru gerakan mahasiswa dengan agenda reformasi struktural. “Ketika kami cabut dari sini pukul 16.30, kami menganggap DPR RI dan pemerintah tidak punya itikad baik untuk memenuhi 17+8 tersebut. Setelah itu akan ada eskalasi tuntutan,” ujar Vincent.
Menurutnya, mahasiswa tidak ingin terjebak dalam negosiasi panjang. Yang dibutuhkan adalah tindakan nyata. Isu-isu dalam 17+8 dinilai menyentuh persoalan strategis nasional yang selama ini tak kunjung direspons memadai oleh pemerintah maupun DPR.
Vincent juga menyinggung kebijakan Ketua DPR RI Puan Maharani terkait pencabutan tunjangan rumah dan pembatasan kunjungan luar negeri anggota dewan. “Kami nggak mau banyak kompromi, kami nggak mau banyak dialog. Tolong dipenuhi aja tuntutannya, clear,” tegasnya.
Vincent menambahkan bahwa kebijakan itu hanya kosmetik. “Kami melihat bahwa terlepas dari tunjangan itu dicabut, diturunkan, dan lain sebagainya, kami melihat permasalahannya nggak cuma itu, dan masih banyak yang harus dituntaskan,” katanya.
Dalam aksinya, mahasiswa mengangkat tema “piknik” dengan atribut warna pink dan hijau, simbol dari gerakan 17+8. Konsep ini dipilih agar lebih dekat dengan masyarakat sipil. “Kami memahami bahwa pendekatan 17+8 itu menggunakan warna-warna yang colorful, fun, dan jauh lebih bisa beresonansi dengan masyarakat sipil,” jelas Vincent.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>






