Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyebut insiden gas air mata di Unisba dan Unpas sebagai pelanggaran hak asasi manusia. “Penggunaan gas air mata yang berlebihan bisa mengakibatkan luka fatal dan bahkan kematian seperti Tragedi Kanjuruhan,” ujarnya.
Di sisi lain, Polda Jawa Barat membantah tuduhan penyerangan kampus. Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Hendra Rochmawan, menyebut gas air mata ditembakkan di jalan raya untuk membubarkan kelompok anarko, lalu tertiup angin hingga masuk ke area parkiran Unisba.
“Jarak petugas 200 meter dari Unisba, tidak ada satupun yang membawa senjata, dan tidak ada tembakan peluru karet ke arah kampus,” kata Hendra. Polisi menegaskan aksi malam itu hanyalah patroli rutin untuk menjaga keamanan.
Berbeda dengan klaim polisi, LBH Bandung menyebut insiden itu bagian dari pola represif aparat dalam membubarkan aksi mahasiswa. Dalam kurun 29–31 Agustus, tercatat 147 orang ditangkap, termasuk 37 anak di bawah umur. “Banyak penangkapan acak tanpa prosedur hukum. Bahkan ditemukan gas air mata kadaluarsa,” ungkap Rafi dari LBH Bandung.
LBH menilai tindakan aparat melanggar prinsip proporsionalitas, due process of law, dan hak atas rasa aman. “Menyerang kampus dengan senjata kimia adalah pelanggaran berat terhadap rasa aman civitas akademika,” tegas LBH.
Mahasiswa Unisba menyatakan akan menempuh jalur hukum. “Hal ini merupakan dugaan tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 351 KUHP dan pelanggaran kewenangan aparat sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian,” ujar Kamal.
Peristiwa di Unisba dan Unpas sekali lagi membuka mata bahwa ruang akademik di Indonesia masih rentan terhadap represi aparat. Kampus yang seharusnya menjadi benteng kebebasan berpikir justru berubah menjadi arena kekerasan. Jika negara gagal menjamin keamanan mahasiswa di dalam kampusnya sendiri, maka demokrasi kita sedang berada di titik rawan.






