
Puluhan ribu orang di berbagai kota Italia turun ke jalan pada dalam aksi mogok nasional dan unjuk rasa solidaritas untuk Palestina, Senin (22/9). Aksi ini digerakkan oleh serikat buruh, pelajar, serta komunitas lokal sebagai bentuk protes terhadap genosida Israel di Gaza yang hingga kini belum mereda.
Di Roma, lebih dari 20 ribu orang, termasuk banyak pelajar SMA, berkumpul di depan Stasiun Termini sambil mengibarkan bendera Palestina dan meneriakkan “Free Palestine”. Serikat pekerja Unione Sindacale di Base mengorganisir mogok kerja 24 jam dengan tuntutan agar Italia memutuskan hubungan dengan Israel. Di Milan, polisi menembakkan gas air mata dan water cannon untuk membubarkan massa, sementara di Bologna demonstran sempat memblokade jalan tol. Di pelabuhan Genoa dan Livorno, para buruh menghentikan aktivitas bongkar muat sebagai bagian dari aksi “Block Everything”.
Selain aksi jalanan, doa bersama juga digelar. Kardinal Gualtiero Bassetti memimpin vigil di Gereja Santa Maria in Trastevere, Roma, bersama komunitas Sant’Egidio dan kelompok Katolik lainnya, mendoakan perdamaian bagi Gaza.
Tekanan terhadap pemerintah Italia semakin besar. Meski jajak pendapat lembaga Only Numbers Institute menunjukkan 40,6% warga Italia mendukung pengakuan Palestina, pemerintahan sayap kanan Italia masih menolak langkah tersebut. Pemerintah hanya menyatakan telah berhenti menjual senjata ke Israel sejak Oktober 2023, namun menolak menerapkan sanksi dagang yang diusulkan Uni Eropa.
Aksi solidaritas ini bertepatan dengan persiapan beberapa negara, termasuk Prancis, untuk mengakui negara Palestina di sidang Majelis Umum PBB di New York. Inggris, Australia, dan Kanada sudah terlebih dahulu memberikan pengakuan pada 21 September. Meski demikian, banyak pihak menilai langkah itu sarat kepentingan politik setelah hampir dua tahun mendukung perang Israel.
Sementara itu, di Gaza situasi terus memburuk. Save the Children melaporkan banyak anak-anak mengalami kelaparan ekstrem dan trauma mendalam. Sejak pertengahan Agustus, Israel menggencarkan penghancuran total Gaza City. Ratusan ribu warga terpaksa mengungsi, namun ratusan ribu lainnya masih bertahan di reruntuhan. Dua rumah sakit terakhir di kota itu berhenti beroperasi pada 22 September, termasuk rumah sakit anak. Israel bahkan memerintahkan evakuasi rumah sakit lapangan milik pemerintah Yordania.
Ribuan warga bergerak ke Rafah dan Khan Younis yang disebut “zona kemanusiaan”, meski di sana kekurangan pangan dan obat-obatan. Ironisnya, wilayah itu tetap menjadi sasaran serangan udara.
Agenda Politik Israel dan Dampaknya
Bersambung ke halaman selanjutnya –>






