
Polemik mewarnai dunia pendidikan di Kalimantan Timur (Kaltim) setelah beredar isu kewajiban sekolah membeli buku berjudul Mengubah Nasib karya Ketua DPRD Kaltim, Hasanuddin Mas’ud, yang juga merupakan kakak kandung Gubernur Kaltim, Rudy Mas’ud.
Informasi yang beredar menyebutkan bahwa pembelian buku tersebut bisa menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah Daerah (Bosda) maupun Bantuan Operasional Sekolah Nasional (Bosnas), dengan nominal hingga Rp3 juta per sekolah. Dosen Tata Negara dan Politik Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Herdiansyah Hamzah, menilai praktik ini sebagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
“Menurut saya sangat keterlaluan. Ada upaya memanfaatkan kekuasaan untuk memaksa sekolah-sekolah membiayai penerbitan buku. Ini jelas penggunaan jabatan untuk kepentingan pribadi,” ujarnya seperti dikutip dari Sapos.
Pria yang akrab disapa Castro ini juga menyoroti dugaan relasi tidak sehat antara Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kaltim dengan DPRD. “Saya membaca ada tukar guling antara kepala dinas dan DPRD. Kalau benar, ini tidak bisa dibenarkan sama sekali,” tegasnya.
Sejumlah sumber dari kalangan sekolah juga mengaku pernah didatangi pihak percetakan yang menawarkan buku tersebut. Bahkan, ada yang mengaku mendapat telepon dari oknum Disdikbud agar pembelian tetap dilakukan meski pihak sekolah menolak.
Plt Kepala Disdikbud Kaltim, Armin, membantah adanya kewajiban membeli buku karya Hasanuddin Mas’ud. Ia menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah mengeluarkan instruksi resmi, melainkan hanya memberikan rekomendasi pribadi.
“Tidak ada jual beli buku yang diwajibkan. Kami hanya menyarankan, karena menurut saya buku itu bagus untuk motivasi dan bisa direkomendasikan ke perpustakaan. Kalau sekolah mau beli silakan, kalau tidak pun tidak masalah,” ujarnya.
Menurut Armin, isi buku Mengubah Nasib memuat perjalanan hidup Hasanuddin Mas’ud yang berasal dari keluarga sederhana, bekerja sejak kecil, hingga membimbing adik-adiknya. Kata Armin, kisah tersebut bisa memberikan inspirasi bagi siswa.
“Ada nilai-nilai perjuangan. Mereka bukan dari keluarga yang mapan. Ini bisa memotivasi siswa untuk lebih semangat meraih kesuksesan,” jelasnya seperti dikutip dari Berita Kaltim.
Armin menegaskan kembali bahwa rekomendasi buku tersebut bersifat sukarela, bukan kebijakan formal dinas.
“Saya menerima buku itu sebelum saya menjabat sebagai Plt. Itu rekomendasi pribadi saya. Kalau ke depan ada buku bagus lainnya, saya juga akan rekomendasikan, tanpa melihat siapa penulisnya,” pungkasnya.
Meski sudah ada klarifikasi, kontroversi tetap muncul karena penggunaan dana sekolah untuk pembelian buku yang tidak terkait langsung dengan kegiatan belajar mengajar menuai kritik keras. Publik menilai perlu ada transparansi agar sekolah tidak terbebani kewajiban yang bersifat terselubung.
Kasus ini menjadi perhatian luas karena menyangkut integritas institusi pendidikan dan potensi penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik.






