Kesimpulan
“Kami tidak akan menerima bahwa balas dendam untuk ayahku kurang dari pembebasan seluruh Palestina, dari sungai hingga laut, dan berakhirnya musuh pendudukan ini. Kepada musuh kami katakan: kalian membanggakan Amerika, kami membanggakan iman kami. Kami akan mengajarkan pelajaran: kalian tidak akan pernah kembali ke tanah kami, Insya Allah.”
— Anak Syahid Khaled Mansour
Dari atap rumah kami di al-Eizariya, ke barat pandangan kami terhalang oleh tembok; ke timur mimpi kami terhalang oleh pemukiman “Ma’ale Adumim”. Di pintu masuk timur kami, visi Fanon tentang kota penjajah versus kota yang dijajah terwujud, seolah kata-katanya dalam The Wretched of the Earth adalah cetak biru.
Pintu masuk pemukiman—tempat pahlawan Oday Al-Tamimi naik dalam pertempuran legendaris—dipenuhi bunga, vila atap merah, dijaga oleh tentara gemetar di balik pagar dan kawat, dengan pekerja Palestina menyeberang untuk bekerja bagi penjajah yang mencuri tanah mereka. Menghadapinya, pintu masuk al-Eizariya penuh sesak, kacau, dengan konstruksi acak, toko barang bekas, dan deretan toko tanpa henti.
Seperti yang dikatakan syahid Muhannad al-Mazra‘a pada 1 Agustus 2023, tidak ada yang lebih menggambarkan: setelah perencanaan tanpa akhir, siksaan, dan rasa sakit, yang dijajah menuangkan seluruh semangat dan keberanian ke dalam pembebasan, menusukkan pisau ke tenggorokan penjajah (seperti yang ditulis Fanon). Dalam konfrontasi epik, Muhannad menyelundupkan senjata ke pemukiman, bertempur di jalan Raed, Dia, dan Oday, dan menyiram tanah kami yang dicuri dengan darahnya.
Setiap kali aku mengingat Fayez mengejar kendaraan lapis baja dengan motor, aku bertanya-tanya: dari mana datang keberanian seperti itu? Aku ingat kata-kata yang terukir di monumennya di al-Eizariya—“Waspadalah terhadap kematian alami, dan matilah hanya di bawah hujan peluru”—kata yang sama terukir di makam syahid Ibrahim Al-Nabulsi di Nablus. Semangat Fayez adalah Ibrahim; mimpinya adalah melihat makamnya. Keduanya hidup sesuai dengan wasiat Ghassan Kanafani: mati di tengah hujan peluru.
*Tulisan penulis ini diterjemahkan dari channel telegram Resistance News Network.







“Waspadalah terhadap kematian alami, dan matilah hanya di bawah hujan peluru.”
wasiat Ghassan Kanafani
Pada Faktanya konsep tentang perjuangan dan perlawanan harus diturunkan dlm bentuk tindakan. Tindakan yang dilakukan hadir ketika adanya dorongan dari dalam diri yg begitu kuat. Fayez tidak tumbuh dlm lingkungan akademis yg mgkn mengajarkan pemikiran para pejuang..fayes hny mendapat buku dari saudaranya setelah keluar dari penjara. Tp pengetahuan yg sedikit itu telah mampu memberikan dorongan kepada Fayez utk memutuskan jalan kesyahidannya. Mungkin demikian seharusnya, satu pemikiran tapi memberikan pemahaman tentang keseluruhan. Semoga pengetahuan ini mampu menjadikan kami sebagai generasi Fayez dlm ruang dan waktu yang berbeda.
Harga melawan lebih murah dari pada mati di tempat tidur_
.
.
Salam ..salam…salaam_
Benar benar kisah yang mengguncang hati
Sementara di Palestina, anak muda seumur Fayez mengorbankan nyawanya demi tanah air. Namun di Indonesia, banyak anak muda masih sibuk mencari trending hiburan.
Fayez bukan sekedar syahid muda, tetapi simbol bahwa generasi Palestina tidak pernah menyerah.
Sedih, hormat, dan kagum: engkau adalah cermin yang menyentil generasi muda Indonesia.
Betapa besar jurang, betapa dalam rasa kagum kami padamu, Fayez
Pemikiran tidak pernah mati, tetapi menginspirasi dan menyinari perjalanan, perjuangan yang meyakini pemikiran tersebut. Free Palestine
Hidup yang sangat mulia; Pulang dengan kemuliaan tertinggi. Al Fatihah untuk para mujahid agung. Kalian … sungguh-sungguh menampar siapapun yang abai terhadap apa yang terjadi sesungguhnya.
Perjuangan mereka belum selesai. Kita dukung terus Palestina.