
Sejarah Krisis Kemanusiaan yang Berulang
Meski gencatan senjata telah diumumkan sejak 10 Oktober lalu, situasi kemanusiaan di Gaza masih jauh dari membaik. Kantor Media Pemerintah Gaza melaporkan bahwa dari 6.600 truk bantuan yang dijanjikan, hanya 986 yang berhasil masuk hingga Senin malam dengan rata-rata 89 truk per hari.
Tentu ini sangat jauh di bawah target 600 truk harian untuk memenuhi kebutuhan dasar warga. “Jumlah ini tidak cukup untuk menutupi kebutuhan minimum masyarakat. Kebijakan pembatasan, kelaparan, dan tekanan kemanusiaan masih terus diterapkan oleh pihak pendudukan,” tulis laporan tersebut.
Kondisi Gaza saat ini mengingatkan pada kritik lama terhadap Israel yang kerap mengingkari kesepakatan damai. Hal ini pernah disampaikan oleh Pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Yasser Arafat, saat bertemu Presiden Soeharto pada 1993 silam, kala Soeharto menjabat sebagai Ketua Gerakan Non-Blok (GNB).
Saat itu, Arafat menyoroti lambatnya pelaksanaan Perjanjian Oslo I—kesepakatan yang ditandatangani di Washington, DC pada 13 September 1993 antara Israel dan PLO, yang seharusnya menjadi dasar bagi pembentukan Otoritas Palestina dan penarikan bertahap pasukan Israel dari Gaza dan Tepi Barat.
Namun, Arafat menegaskan bahwa Israel tidak mematuhi isi kesepakatan, khususnya terkait penarikan pasukan. “Sebaliknya kini yang masih terjadi adalah kekerasan Israel terhadap rakyat saya, terutama wanita dan anak-anak, dan hal itu terjadi hampir setiap hari,” ujarnya kala itu.
Presiden Soeharto sendiri, dalam pertemuannya dengan Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin, juga telah menekankan pentingnya Israel menepati komitmen perdamaian. “Presiden Soeharto mengatakan, di Jakarta pun pada saat bertemu dengan PM Yitzhak Rabin telah ditekankan pentingnya Israel melaksanakan dengan penuh kejujuran kesepakatan Washington,” kata Menteri Sekretaris Negara Moerdiono waktu itu.
Arafat menambahkan bahwa untuk membangun kembali wilayah Palestina, dibutuhkan sekitar 13 miliar dolar AS, tetapi yang diterima saat itu baru 2,2 miliar dolar. “Padahal seluruh infrastruktur kami, air, listrik, rumah sakit, telekomunikasi, telah hancur lebur,” ujarnya.
Kini, lebih dari tiga dekade setelah Oslo I, situasi di Gaza tidak jauh berbeda. Garis kuning yang membelah Gaza bukan sekadar batas teritorial, tetapi simbol keterasingan dan penderitaan. Di balik garis itu ada mereka yang masih berjuang untuk hidup.
Dan di depannya, merekalah yang gugur tanpa sempat kembali ke rumah.







Kejahatan nya luar biasa di luar kemanusiaan itu sendiri…atau memang mereka itu bukan manusia ya? Ya Allah kami berharap dan berlindung hanya kepada Mu semata…kalahkan mereka ya Allah binasakan hancurkan musuh musuh kami se hancur hancurnya..kuatkan penduduk Gaza..berikan kekuatan yang berlipat-lipat untuk kaum muqowamah dan kemenangan yang Gilang gemilang aamiin ya rabbal ‘alamin..
Semakin memahamkan kami bahwa harga kemerdekaan itu sangat sangat mahal harganya.
Semakin pula bertambah tekad memantapkan jalan berjuang membela kaum tertidas dengan mengevaluasi diri dan masuk kedalam strategi Terpimpin, terorganir dan berlipat ganda
Panjang Umur Palestina