Oleh: Naswa Athaluna Fathia Salsabila*

Banyak sekali kasus pelecehan, terutama di kota tempat tinggalku, Malang. Berita tentang perempuan yang dilecehkan di jalan, di kendaraan umum, bahkan di lingkungan kampus bukan lagi hal yang jarang terdengar. Ironisnya, setiap kasus muncul, komentar-komentar menyalahkan korban juga ikut bermunculan: “Ya wajar lah, bajunya terbuka,” atau “Kalau nggak mau diganggu ya pakai baju yang sopan dong.” Kalimat seperti ini terdengar sepele, tapi dampaknya luar biasa besar. Yang secara tidak langsung memindahkan kesalahan dari pelaku ke korban.
Fenomena ini bukan hal baru. Di ruang publik, media sosial, bahkan obrolan warung kopi, pandangan semacam ini terus diulang sampai seolah-olah jadi “kebenaran umum”. Padahal, di balik logika yang kelihatannya masuk akal itu, ada bias gender yang kuat: Perempuan disalahkan, Laki-laki dimaafkan.
Pakaian Perempuan: Alasan atau Alibi?
Apakah pakaian terbuka otomatis mengundang pelecehan? Jawabannya jelas: TIDAK!. Banyak kasus pelecehan justru terjadi pada perempuan yang berpakaian tertutup rapat. Ada kasus di tempat kerja, di transportasi umum, bahkan di tempat ibadah. Jadi, menyederhanakan masalah pelecehan hanya pada faktor pakaian itu sama saja menutup mata dari akar persoalan sebenarnya — yaitu perilaku pelaku itu sendiri.
Sayangnya, sebagian laki-laki menjadikan pakaian perempuan sebagai “alasan pembenaran” atas perilaku mereka. Seolah-olah, tubuh perempuan adalah pemicu yang otomatis membuat mereka kehilangan kontrol. Padahal, kalau dipikir logis, mereka juga bisa menahan diri di berbagai konteks lain. Saat di tempat kerja, mereka bisa bersikap profesional. Saat di depan keluarga besar, mereka bisa menahan diri. Jadi, kenapa ketika melihat perempuan berpakaian terbuka, tiba-tiba “akal sehat” hilang?
Alasan ini bukan alasan biologis, tapi alibi sosial. Masyarakat patriarkal selama ini terlalu sering memberikan ruang bagi laki-laki untuk tidak bertanggung jawab penuh atas tindakannya. “Namanya juga laki-laki,” “Cowok kan visual,” atau “Godaan terlalu besar” — kalimat ini terdengar biasa, tapi sebenarnya membentuk budaya yang membiarkan pelecehan terjadi tanpa rasa bersalah.
Perempuan dan Hak atas Tubuhnya
Bersambung ke halaman selanjutnya –>






