Budaya Patriarki dan Pembiasaan yang Salah
Di banyak masyarakat, termasuk Indonesia, masih kuat budaya patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai “pihak dominan”. Sejak kecil, anak laki-laki sering diajarkan bahwa mereka bebas berekspresi, sementara anak perempuan dibatasi. Ketika dewasa, pembiasaan ini berubah menjadi anggapan bahwa tubuh perempuan harus “diatur” agar laki-laki tidak tergoda. Padahal, seharusnya yang diajarkan sejak awal adalah pengendalian diri dan rasa hormat.
Kalau alasan biologis terus dipakai, lalu bagaimana dengan laki-laki di negara-negara yang lebih liberal soal pakaian? Apakah semua laki-lakinya menjadi pelaku pelecehan? Nyatanya tidak. Perbedaan terbesarnya ada pada pendidikan, kesadaran hukum, dan budaya menghargai tubuh orang lain. Di banyak tempat, pakaian terbuka bukan hal luar biasa, dan pelecehan tetap dianggap kesalahan serius pelaku, bukan korban.
Media Sosial: Cermin Mentalitas Ganda
Media sosial memperlihatkan kontradiksi ini dengan sangat jelas. Di satu sisi, banyak laki-laki yang dengan bebas menikmati konten perempuan berpakaian terbuka — like, share, atau komen dengan emoji genit. Tapi di sisi lain, mereka juga yang paling cepat menghakimi perempuan di dunia nyata dengan tuduhan “mengundang godaan”.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan pada pakaian, tapi pada cara pandang terhadap tubuh perempuan. Tubuh perempuan sering dilihat sebagai objek konsumsi visual, tapi saat perempuan menegaskan batas atau keberdaulatan atas tubuhnya, mereka malah diserang balik. Ini bentuk ketimpangan kuasa yang halus tapi nyata.
Membangun Kesadaran Baru
Bersambung ke halaman selanjutnya –>






