
Berbeda halnya dengan ma’had kampus 2 dan 3 yang memiliki fasilitas premium, sehingga dikenakan biaya yang lebih mahal yaitu Rp10 juta per tahun. Di ma’had tersebut, setiap kamar hanya berisi empat orang dengan kelengkapan berupa ranjang, lemari besi, springbed, bahkan setiap orang mendapatkan meja belajar. Tidak hanya itu, di sana juga disediakan lift untuk mempermudah mobilitas. Kebijakan terbaru, mahasantri kampus 3 diperbolehkan membawa kendaraan pribadi, karena jaraknya yang cukup jauh antara tempat kuliah dengan ma’had.
Meski demikian, ada beberapa hal yang perlu dikritisi dan diperbaiki. Pertama, perbaikan fasilitas yang rusak tidak ditangani dengan cepat sehingga membuat mahasantri kurang nyaman. Kedua, sistem pembayaran yang cukup memberatkan bagi sebagian orang, terlebih harus dibayar bersamaan dengan UKT dan hanya bisa diangsur dua kali dalam satu semester. Ketiga, akses jalan menuju kampus 3 yang rusak, tidak jarang dikeluhkan oleh para mahasiswa dan dosen, bahkan berpotensi membahayakan keselamatan.
Secara keseluruhan, biaya Rp7.5 juta-Rp10 juta per tahun itu tergolong wajar dan sepadan dengan sarana dan layanan yang diterima. Bahkan ketika dibandingkan dengan biaya kos yang harganya kisaran Rp500.000 sampai Rp1.5 juta per bulan dan belum termasuk pembelajaran akademik serta spiritualitas mahasantri, maka biaya ma’had dianggap lebih hemat dan murah.
Perbandingan tersebut semakin jelas ketika melihat realitas di lapangan. Meski mahasiswa yang tinggal di kos dapat melatih kemandirian, namun belum tentu memperoleh pengawasan atau bimbingan dari ustadz/ah. Sementara di ma’had, selain melatih kemandirian dan kedisiplinan, mereka juga mendapatkan pengawasan serta pembinaan spiritualitas.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa biaya ma’had bukan sekadar untuk pembayaran fasilitas fisik, melainkan sarana pembelajaran agama, dan mengembangkan kepribadian. Dengan demikian, sebaiknya biaya ma’had tidak dipandang sebagai beban finansial, melainkan sebagai investasi jangka panjang bagi mahasantri dalam membentuk karakter yang berjiwa ulul albab.
*Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
(Tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab Penulis)






