Ekspansi BUMN dan keterlibatan lembaga militer dalam sektor ekonomi justru mempersempit ruang tumbuh bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM).
AEI menilai kebijakan ini menciptakan ketimpangan baru dalam rantai pasok dan akses pembiayaan. Lalu keempat, Penyederhanaan Regulasi dan Birokrasi. Meskipun pemerintah gencar menggaungkan reformasi perizinan, AEI mencatat bahwa praktik di lapangan masih dipenuhi hambatan birokrasi, tumpang tindih aturan, dan mafia perizinan.
Akibatnya, tingkat kepercayaan dunia usaha terhadap komitmen reformasi menurun. Kelima, pengurangan Ketimpangan Ekonomi dan Sosial. Rasio Gini meningkat dari 0,38 menjadi 0,40 dalam setahun terakhir, menunjukkan ketimpangan yang semakin melebar.
AEI menyerukan agar pemerintah memperkuat kebijakan redistributif melalui sistem perpajakan progresif dan subsidi yang lebih tepat sasaran. Ada pun keenam tentang kebijakan Ekonomi Berbasis Bukti dan Kajian Ilmiah
AEI menilai banyak keputusan ekonomi diambil berdasarkan tekanan politik, bukan hasil kajian empiris.
Padahal, kebijakan berbasis data dan analisis teknokratis merupakan syarat penting untuk menjaga kredibilitas fiskal dan keberlanjutan ekonomi jangka panjang. Terakhir yaitu ketujuh soal pembersihan Tata Kelola dari Konflik Kepentingan AEI menyoroti masih kuatnya praktik rente dan konflik kepentingan di sektor strategis seperti energi, tambang, dan infrastruktur.
Keterlibatan aparat keamanan dalam urusan ekonomi tanpa pengawasan publik yang memadai dinilai berpotensi menimbulkan ketimpangan dan mengancam prinsip tata kelola yang bersih. AEI juga menegaskan bahwa janji kemandirian ekonomi tidak akan terwujud hanya melalui proyek besar atau retorika politik.
Perubahan nyata harus dimulai dari tata kelola yang bersih, efisien, dan berpihak pada produktivitas rakyat. “Tanpa keberanian untuk melakukan pembenahan institusi dan alokasi sumber daya, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan menjadi pertumbuhan semu,” tegas AEI.
Aliansi ini juga menekankan bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran memiliki peran penting dalam menentukan arah bangsa ke depan. Yaitu apakah menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, atau justru memperdalam ketimpangan sosial yang sudah ada.
AEI mengakhiri pernyataannya dengan menegaskan bahwa reformasi tata kelola bukan pilihan, melainkan keharusan untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 yang adil, berkelanjutan, dan bermartabat bagi seluruh warga negara.






