Oleh: Pius Lustrilanang*

Setiap kali wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto kembali dihembuskan, dada saya terasa sesak. Bukan karena trauma yang belum sembuh, tetapi karena pertanyaan yang tak pernah dijawab: jika Soeharto diangkat jadi pahlawan, lalu kami ini siapa? Kami yang dulu diculik, disiksa, dibungkam, dan dituduh makar hanya karena menuntut demokrasi — apakah kami harus menulis ulang sejarah kami sendiri sebagai pengkhianat republik?
Saya menulis ini bukan untuk membuka luka, tetapi untuk mengingatkan bangsa bahwa sejarah bukan sekadar daftar nama dan tanggal, melainkan juga jeritan yang pernah ditenggelamkan. Di bawah rezim Orde Baru, banyak anak muda berani bersuara karena cinta pada negeri ini. Kami ingin Indonesia yang lebih terbuka, lebih adil, lebih manusiawi. Namun cinta itu dibalas dengan kecurigaan, dan idealisme dibalas dengan borgol.
Luka yang Tidak Tercatat
Nama-nama kami tidak terukir di monumen, tapi terpatri di ingatan bangsa yang nyaris kehilangan keberaniannya. Sebagian dari kami tidak pernah kembali. Sebagian kembali tanpa suara. Kami tahu siapa yang memerintah saat itu. Kami tahu siapa yang menciptakan struktur ketakutan di mana perbedaan pendapat dianggap ancaman negara.
Ketika negara menculik warganya sendiri, siapa sebenarnya yang melawan republik? Kami yang menuntut demokrasi, atau mereka yang menutup ruang kebebasan? Jika kini pelaku kekuasaan itu diangkat menjadi pahlawan, apakah artinya perjuangan kami dianggap kesalahan sejarah?
Dalam laporan Komnas HAM tahun 2006, kasus penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997–1998 dinyatakan memenuhi unsur pelanggaran HAM berat. Laporan itu bukan narasi balas dendam, melainkan fakta hukum yang belum dituntaskan. Namun hingga kini, tidak ada satu pun permintaan maaf resmi dari negara. Luka itu dibiarkan menggantung — dan sekarang kita disuruh melupakan dengan dalih rekonsiliasi.
Antara Lupa dan Ampun
Bersambung ke halaman selanjutnya –>






