Antara Lupa dan Ampun
Saya tidak menolak rekonsiliasi. Tapi rekonsiliasi sejati hanya mungkin lahir dari kejujuran.
Yang saya tolak adalah rekonsiliasi yang dimulai dengan penghapusan dosa tanpa pengakuan kesalahan. Bangsa ini tidak bisa sembuh kalau terus menabur bunga di atas luka yang masih terbuka.
Jika Soeharto disebut pahlawan karena pembangunan dan stabilitasnya, maka siapa yang akan disebut korban dari stabilitas itu? Mereka yang disingkirkan karena berpikir berbeda, yang ditahan tanpa pengadilan, yang keluarganya tidak pernah tahu di mana jasad anak-anaknya?
Stabilitas tanpa kebebasan bukan kedamaian, tapi pembekuan jiwa bangsa. Pembangunan tanpa keadilan hanya menghasilkan kemewahan bagi segelintir, dan ketakutan bagi banyak. Inilah paradoks besar yang ditinggalkan Orde Baru.
Antara Tokoh Besar dan Teladan Moral
Saya tidak menafikan bahwa Soeharto adalah tokoh besar. Ia punya jasa dalam menjaga keutuhan negara, membangun infrastruktur, dan menata ekonomi nasional. Tapi tokoh besar tidak selalu identik dengan pahlawan.
Tokoh besar bisa menjadi bagian sejarah yang harus dipelajari; pahlawan adalah teladan moral yang harus ditiru.
Dalam pandangan saya, pahlawan adalah mereka yang memberi ruang bagi kebebasan berpikir, bukan yang menakutinya. Pahlawan adalah mereka yang mengorbankan kekuasaan demi kemanusiaan, bukan sebaliknya.
Bila Soeharto diangkat menjadi pahlawan nasional tanpa evaluasi moral, bangsa ini sedang memutihkan kekuasaan dengan tinta amnesia.
Dari Penjara ke Sejarah
Bersambung ke halaman selanjutnya –>






