Oleh: Aprialdi Suherman
Peristiwa tragis meninggalnya seorang mahasiswa karena dikeroyok setelah tertidur di Masjid Agung Sibolga telah menggugah kesadaran banyak pihak. Masjid, yang seharusnya menjadi ruang aman, tenang, dan penuh kasih bagi siapa pun yang datang, kini justru menjadi saksi dari tindak kekerasan.
Di tengah padatnya aktivitas akademik dan tekanan hidup kampus, masjid sering kali menjadi tempat mahasiswa beristirahat sejenak. Bukan hanya secara fisik, tetapi juga mental dan spiritual. Banyak mahasiswa menjadikan masjid sebagai tempat menenangkan diri dari rutinitas, berdiskusi, membaca bukU dan kitab, hingga sekadar melepas lelah di sela-sela kuliah.
Namun, insiden ini menimbulkan pertanyaan penting, apakah masjid dan lingkungan sekitar sudah benar-benar menjadi ruang yang terbuka dan ramah bagi semua orang? Masjid sejatinya tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pembinaan karakter dan solidaritas sosial.
Dalam sejarah Islam, masjid menjadi ruang pendidikan, dialog, bahkan tempat berlindung bagi siapa pun yang membutuhkan. Bagi mahasiswa, masjid sering kali berperan sebagai tempat mencari ketenangan dari tekanan akademik dan ekonomi. Banyak yang datang untuk beribadah, berdiskusi, bahkan tidur sebentar di sela-sela jadwal kuliah.
Aktivitas sederhana itu seharusnya dimaknai sebagai bentuk keterhubungan spiritual, bukan pelanggaran sosial. Ketika ada mahasiswa yang tertidur di masjid, semestinya respons yang muncul adalah empati, bukan kecurigaan atau kekerasan. Bisa jadi, ia lelah setelah kuliah sambil bekerja, atau sedang menghadapi tekanan yang berat dalam hidupnya.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>
