
Bagi warga Amerika, Mamdani memang unik. Ia Islam dan Sosialis. Tapi di Indonesia tokoh seperti Mamdani sudah ada sejak zaman pergerakan. Kita mengenal Tjokroaminoto. Pendiri Sarikat Islam ini pernah menulis Islam dan Sosialisme. Ada pula tokoh Islam asal Solo, Haji Misbach. Baginya Islam dan Sosialisme adalah kawan seiring. Pun, setelah kemerdekaan muncul tokoh seperti Hasan Raid, seorang Muslim yang Sosialis. Kini tokoh semacam Tjokro, Misbach dan Hasan Raid justru muncul di pusat kapitalisme: Amerika Serikat.
Politikus dan ketua-ketua partai politik kita, baik yang berada di dalam maupun luar parlemen, buta sama sekali tentang Sosialisme. ABC Sosialisme tidak mereka mengerti. Dalam dunia politik, buta huruf terhadap Sosialisme ini merupakan bentuk keterbelakangan intelektual yang akut. Orang yang tidak paham Sosialisme, maka dipastikan tidak mengerti tentang kemanusian yang paripurna; ia hanya akan paham kerakusan dan kekuasaan.
Pada zaman pergerakan, tokoh-tokoh muda seperti Alimin, Semaun, Marco, Musso, Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Amir Sjarifoeddin hingga Sjahrir, sudah katam mempelajari Sosialisme. Gagasan-gagasan politik mereka sangat dijiwai oleh nilai-nilai Sosialisme. Buka saja pembukan UUD 1945 dan batang tubuhnya: ada Sosialisme yang kental di sana.
Di negara maju seperti Amerika dan Eropa, Sosialisme justru tengah mekar-mekarnya. Dalam wujud Sosial Demokrasi, Sosialisme menjawab kebuntuan kapitalisme. Negara paling bahagia, sejahtera, bersih dari korupsi, maju pendidikannya, mengayomi hak-hak minoritas dan melindungi alamnya adalah negara penganut sosial demokrasi. Filandia contoh terbaiknya.
Sosialisme yang dibawa Mamdani adalah Sosialisme yang telah berdialektika dengan zaman. Ia tidak diwujudkan lewat revolusi seperti Komune Paris, Revolusi Rusia 1917, Revolusi Tiongkok 1945 atau Revolusi Kuba. Sosialisme ala Mamdani dimenangkan lewat suatu Pemilu. Oleh karena itu, ia harus meyakinkan pemilih untuk memenangkan pertarungan.
Guna mendapatkan dukungan dari pemilihnya, Mamdani dan para relawan melakukan blusukan tanpa kenal lelah. Pada Mei tahun ini, relawan Mandani telah mengetuk 95.321 ribu pintu rumah warga. Menjelang hari pencoblosan, mereka berhasil menjumpai 644.755 ribu warga New York. Dengan metode ketuk dari pintu ke pintu ini, Mamdani yang awalnya hanya anak muda penyuka olah raga kriket, menjadi politisi sosialis paling populer di New York. Guna mempopulerkan Mamdani dan program-programnya, relawan juga menelepon 261.051 ribu orang. Di saat media dominan dikuasi oleh status quo, relawan Mamdani secara efektif menggunakan media sosial untuk kampanye.
Ideologi yang jelas, strategi dan taktik yang tepat, membuat Sosialisme berkibar di New York. Kita belum tahu kapan hal itu akan terjadi di Indonesia. Kita masih lebih suka gimmick dibandingkan bicara Sosialisme. Kita masih terbelenggu berdebat tetang isu-isu recehan dibandingkan berdebat tentang program-progam Sosialisme.
Bisa jadi, di Indonesia menunggu Sosialisme berkibar seperti di New York, seperti lakon Samuel Beckett: Menunggu Godot.***






