More

    Menepis Keraguan Publik atas Gerakan Boikot Afiliasi Zionis

    Oleh: M Haidar*

    Ilustrasi.

    Nike pernah mempekerjakan anak-anak di bawah umur dengan upah yang tidak layak, dan dengan jam kerja yang bahkan tidak normal bagi orang dewasa. Ini kisah nyata, terjadi sesudah Nike menutup pabriknya di Amerika pada tahun 1984. Lalu produsen alas kaki ini memindahkan semua aktivitas produksinya ke negara-negara Asia, demi pengupahan yang jauh lebih murah dan lemahnya aturan ketenagakerjaan. 

    Kejadian itu mengundang amarah ribuan massa yang tumpah ruah di jalanan Amerika. Banyak orang tergerak untuk memboikot secara massal terhadap produk-produk Nike. Akhirnya, berhasil menekan pemilik slogan “just do it” untuk cemas serius setelah penjualannya anjlok seketika. Memaksa Phil Knight, bos besar perusahaan, muncul di hadapan publik untuk permintaan maaf dan janji klasik untuk berbenah diri.

    - Advertisement -

    Kasus Nike ini bisa menjadi pembelajaran nyata. Memahami boikot yang ternyata sangat strategis dan efektif untuk mengubah keadaan. Sehingga ia menjadi langkah yang sering diambil dalam gerakan masyarakat, sebagai aksi tanpa orasi, untuk memberi dampak kepada pihak berkuasa yang semena-mena. 

    Bagi masyarakat itu sendiri, dampak dari aksi boikot bisa menjadi momen peningkatan kesadaran. Simpati terhadap kondisi di Palestina kini sukses membangun kembali gerakan solidaritas di dunia. Masyarakat hari ini menjadi banyak terlibat dalam sikap politik kemanusiaan. Belum lagi berbicara kaitannya dengan ekonomi, saat perusahaan lokal punya kesempatan untuk memperkuat eksistensinya di tengah dominasi waralaba luar negeri.

    Dalam catatan sejarah pun demikian. Perlawanan rakyat Afrika Selatan yang terorganisir berhasil keluar sebagai pemenang—rezim Apartheid tumbang—setelah memboikot produk-produk perusahaan yang mendukung rezim. Seperti juga yang terjadi pada tahun 1980, yang melalui aksi boikot, orang-orang Irlandia membebaskan diri dari kejahatan Charless Cunningham yang kerap memainkan harga sewa tanah.

    Berbeda dengan sebagian publik tanah air yang masih belum memahami aksi boikot berikut pengaruhnya. Malah orang-orang yang boikot demi solidaritas Palestina harus menerima umpatan sinis mereka. Sangat disayangkan, memang, ‘sebagian publik’ ini jumlahnya tidak sedikit. Terutama di sosial media, tempat di mana orang-orang tampil dengan indentitas yang rahasia, dan dengan akun sekaligus kepribadian ganda. 

    “Berkicaulah tentang boikot di twitter, instagram, facebook dan whatsapp melalui iPhone yang Anda punya.”, begitulah kira-kira umpatan sinisnya. 

    Padahal hari ini bukan lagi zaman di mana, untuk informasi terbaru, manusia harus menunggu koran terbit. Kenyataanya manusia kini kesulitan melepas gadget dari genggamannya, sebelum tidur atau saat ia terbangun. Sedang sosial media adalah tempat mereka menghabiskan waktu daripada aktivitasnya di luar layar.

    Menjadi sangat tepat ketika kampanye boikot lebih gencar di sosial media, melalui android atau iPhone bekas yang terlanjur dibeli. Anggaplah upaya ini sebagai bumerang bagi perusahaan media sosial itu sendiri yang semakin membenci konten-konten Palestina.

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here