Oleh: Yudhistira Malik Rahman, S.Pd.*

Sekolah sering dipersepsikan sebagai ruang belajar yang tenang, terstruktur, dan penuh nilai. Namun, realitas di lapangan menunjukkan hal yang lebih kompleks. Konflik antara guru, orang tua, dan pihak sekolah kerap muncul, bukan karena niat buruk, melainkan akibat komunikasi yang tidak terkelola dengan baik.
Dalam konteks pendidikan modern yang serba cepat dan transparan, kegagalan berkomunikasi justru menjadi sumber masalah paling mendasar. Penelitian di bidang pendidikan menunjukkan bahwa sebagian besar konflik sekolah orang tua dipicu oleh miskomunikasi terkait penilaian, metode pembelajaran, dan ekspektasi akademik.
OECD melalui survei TALIS (2022) mencatat bahwa guru yang bekerja di lingkungan dengan komunikasi organisasi yang buruk memiliki tingkat stres kerja dan kelelahan emosional lebih tinggi. Temuan ini memperkuat gagasan bahwa kualitas relasi antarmanusia di sekolah berpengaruh langsung terhadap kesehatan mental pendidik.
Sementara di Indonesia, tantangan komunikasi semakin rumit karena peran guru tidak lagi sebatas pengajar. Guru menjadi fasilitator, evaluator, administrator, sekaligus penghubung antara sekolah dan keluarga. Perubahan kurikulum, asesmen nasional, serta tuntutan transparansi orang tua menciptakan arus komunikasi yang padat dan sering kali tidak seimbang. Tanpa batas yang jelas, pesan yang seharusnya membangun justru berubah menjadi tekanan psikologis.
Riset Teaching and Teacher Education (2021) menunjukkan bahwa beban administratif dan komunikasi yang bersifat reaktif menjadi prediktor utama emotional exhaustion pada guru. Ketika komunikasi hanya berfungsi sebagai alat pengawasan, guru cenderung bekerja dalam mode bertahan, bukan berkembang. Kondisi ini membuat ruang refleksi dan inovasi pembelajaran semakin sempit.
Budaya komunikasi terbuka menawarkan pendekatan pencegahan yang lebih manusiawi. Komunikasi terbuka bukan sekadar banyak berbicara, tetapi menciptakan ruang dialog yang setara, jelas, dan saling menghormati.
Sekolah yang memiliki forum komunikasi rutin antara guru, orang tua, dan manajemen terbukti mampu meredam konflik sejak dini. Orang tua memahami proses belajar, sementara guru merasa didukung secara struktural.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>






