Ahmad Fauzan Sazli
YOGYAKARTA, KabarKampus – Hakim Agung Artidjo Alkostar menolak pemberian penghargaan yang akan diberikan oleh Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Penolakan tersebut disampaikannya memalui surat tertanggal 24 Desember 2013 yang berisi alasan penolakan tersebut.
Dalam suratnya Artidjo menyampaikan terima kasih dan merasa mendapat kehormatan dengan usulan itu, namun karena alasan Kode Etik Hakim termasuk Hakim Agung lah yang tidak memperkenankan seorang hakim menerima penghargaan.
Dengan demikian, UII tidak meneruskan rencana pemberian Anugerah UII atau UII Award tersebut kepada Artidjo Alkostar. Walaupun pemberian gelar tersebut sudah dilakukan pengkajian mendalam sebelumnya.
Menurut Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec, Rektor UII, penolakan Artidjo Alkostar ini bukan sesuatu yang menyakitkan, tetapi justru menambah kebanggaan sebagai institusi yang menjadi tempat Artidjo kuliah dan mengabdi selama ini. Penolakan Artidjo Alkostar ini menunjukan sikapnya bahwa panggilan moral jauh lebih penting untuk diikutinya ketimbang menerima penghargaan. Oleh karena itu, apa yang dilakukan Artidjo Alkostar bisa menjadi inspirasi tidak saja bagi alumni dan keluarga besar UII, tapi juga bagi bangsa ini.
“Kalau saya melihat, pergaulan saya selama ini dengan beliau, saya sudah menduga dia akan menolak. Karakter beliau memang seperti itu, seperti ingin jauh dari sanjungan dan pujian, bahkan juga jauh dari kemewahan. Ia bukan sosok yang suka diumbar dengan pujian dan kemewahan,” ungkap Prof. Edy dalam jumpa pers yang digelar di Yogyakarta, Minggu (29/12/2013).
Menurut Prof Edu, karakter Artidjo yang tidak suka dipuji, menunjukkan bahwa ia merupakan seorang intelektual yang memang betul peduli dengan kondisi masyarakat di sekelilingnya tanpa harus mendapat imbalan atas karya, jasa, atupun kontribusi yang diberikan. Oleh karenanya, sungguhpun tidak ada kode etik hakim yang melarangArtidjo tetap akan menolak UII Award tersebut.
Penganugerahan UII Award ini tidak dilakukan secara rutin, tetapi hanya diberikan jika ada perseorangan atau lembaga yang benar-benar layak dan dilakukan secara sangat selektif. Pemberian ini diberikan jika ada seseorang atau lembaga yang dianggap memenuhi criteria, mampu memberikan kontribusi pada bangsa, negara dan peradaban umat manusia.
Dalam perjalanannya, anugerah UII pernah diberikan kepada Baharudin Loppa pada tahun 1997, Amien Rais di tahun 1998, Moh. Mahfud MD di tahun 2010, dan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2011.[]