ABC AUSTRALIA NETWORK
Anna Henderson, staf
Badan Arsip Nasional Australia baru-baru ini menerbitkan dokumen kabinet rahasia periode 1986 hingga 1987, saat pemerintahan dipimpin oleh Perdana Menteri dari Partai Buruh Bob Hawke.
Dokumen-dokumen tersebut menunjukkan berbagai cara kerja pemerintah di balik layar, termasuk yang melibatkan hubungan dengan Indonesia.
Prioritas luar negeri pemerintahan Australia saat itu termasuk China, Jepang dan Indonesia.
Jim Stokes, seorang ahli sejarah, menyelidiki bagian dokumen yang membahas Indonesia. Ia mengatakan bahwa sikap negatif dan kecurigaan dari kedua pihak, Australia dan Indonesia, dipicu oleh reportase media, perihal hak asasi manusia dan masalah Timor Timur.
“Kabinet setuju bahwa Australia harus berusaha membina hubungan baik dengan Indonesia di berbagai tingkat, namun menghindari melakukan tindakan berlebihan yang bisa menyebabkan Indonesia berasumsi bahwa tanggung jawab dalam hubungan yang sukses hanya dipikul Australia,” jelasnya.
Hawke mengatakan kabinetnya memahami pentingnya memperbaiki hubungan Australia dengan negara tetangganya.
“Saya selalu memahami kalau upaya Australia untuk memiliki hubungan yang hangat dan erat dengan Indonesia tidak mudah, karena ada banyak perbedaan di lingkungan politik dan budaya diantara Indonesia dan Australia,” katanya.
“Sangat jelas kalau Indonesia akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia dan kita harus memiliki hubungan yang baik dengannya.”
Sanksi terhadap Afrika Selatan
Di masa Hawke, Australia juga menjatuhkan sanksi terhadap Afrika Selatan.
Masa pemerintahan partai buruh di tahun 1980an dan 1990an diwarnai perselisihan antara Hawke dan Paul Keating, yang sempat menjabat sebagai Menteri Keuangan di bawah Hawke.
Pada tahun 1991, Keating menantang kepemimpinan Hawke dan akhirnya menggantikannya sebagai Perdana Menteri.
Baru-baru ini, keduanya bercerita melalui wawancara dan dokumenter di ABC mengenai persaingan mereka. Keating mengaku sebagai yang paling berjasa di balik kemenangan partai buruh pada tahun 1987, sementara Hawke bersikeras bahwa dIialah yang dipilih oleh rakyat Australia.
Perselisihan ini seolah terkuak kembali dengan penerbitan dokumen-dokumen tersebut.
Meskipun dokumen-dokumen tersebut tak langsung menyebutkan ketegangan antara Hawke dan Keating, namun menyinggung peristiwa merosotnya sektor perdagangan Australia pada masa itu.
Keating memegang peran penting dalam penanganan masalah tersebut, antara lain dengan memperingatkan masyarakat bahwa Australia akan menjadi ekonomi tingkat tiga.
Tindakan Keating tersebut mengejutkan kabinet.
Selain itu, Ia juga disebut menginginkan diterapkannya kontrol terhadap peminjaman dan pengetatan dalam pembelanjaan.
Pada tahun 1987, kabinet harus meningkatkan anggaran untuk membangun gedung parlemen baru. Akibat unjuk rasa dan kelebihan biaya, kabinet terpaksa meningkatkan anggaran total menjadi lebih dari 1 miliar dollar.
Pemerintah tadinya mempertimbangkan memotong subsidi untuk ruang-ruang makan parlemen, namun anggota parlemen dan senator memprotes rencana tersebut. Pemerintah juga tidak jadi meningkatkan gaji para politisi.
Dalam dokumen-dokumen tersebut, dirincikan bagaimana pemerintahan Hawke gagal memperkenalkan otonomi di wilayah ibukota Australia. Akhirnya, wilayah ini, yang termasuk Canberra, baru mencapai otonomi tahun 1988. []