Panji Mukillah*
Menyoal beberapa opini mengenai semangat optimisme, idealisme, agent of change, social control, dan sebagainya, membuat penulis merenung, bisakah demikian? Sewaktu penulis masih semester satu, alam pikir demikian memang terlihat keren. Nostalgia semangat seperti kala 1965 dan 1998 selalu didengung-dengungkan tatkala membicarakan gerakan mahasiswa. Belum lagi senior-senior yang kerap mengelu-elukan gagasan mengenai menyatukan gerakan mahasiswa. Semua perasaan itu terakumulasi dan membakar jiwa muda ini : jiwa muda semester satu!
Hingga pada akhirnya, setelah berjalannya waktu, penulis kian belajar dan hati-hati supaya tidak jatuh pada jurang fantasi. Karena bicara tentang gerakan mahasiswa, adalah menyoal pentingnya membaca keadaan objektif, merumuskan siasat, dan membangun persatuan untuk melawan. Karena jika tidak demikian, maka tujuan mulia yang didengar sewaktu semester satu hanyalah menjadi utopia. Supaya tidak menjadi utopis, maka orientasi gerakan mahasiswa tidak bisa ditelusuri dengan dogma dan fantasi, namun harus dengan cara sebaliknya, yakni pembacaan yang teliti dan ilmiah.
Mahasiswa adalah orang yang berstudi di perguruan tinggi. Berbeda dengan buruh yang tugasnya bekerja di pabrik, atau petani yang menggarap lahan di sawah, maka tugas mahasiswa pada intinya adalah mengenyam pendidikan. Mengapa pendidikan menjadi tugas utama mahasiswa? Karena nyatanya, sebagian besar waktu produktif mahasiswa memang digunakan untuk mengenyam pendidikan (kuliah, ujian, penelitian, dll), dan memang itulah haknya.
Namun dalam kenyataannya, mahasiswa mendapati kesulitan dalam hal memperoleh hak pendidikannya. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal, mulai dari biaya pendidikan yang semakin mahal, pembelajaran yang kerap otoriter dan feodal, pengambilan kebijakan tanpa melibatkan mahasiswa yang padahal kebijakan itu berdampak pada mahasiswa, pengelolaan dana pendidikan yang carut marut oleh birokrat, dan kian terasingnya civitas kampus dengan persoalan riil rakyat. Sehingga pendidikan yang diperolah hanyalah pendidikan formalitas, pendidikan yang hanya untuk mengejar ijazah saja.
Institusi pendidikan tinggi yang seharusnya mencetak generasi bangsa yang pasca lulus siap memperbaiki kondisi rakyat, justru malah menjadi mesin yang mencetak tenaga kerja murah untuk menjadi sekrup-sekrup kapitalisme. Maka persoalan pendidikan lah yang menjadi persoalan pokok mahasiswa.
Pada tahun 1968, oleh Ernest Mandel berbicara di depan 33 perguruan tinggi di Amerika Serikat dan Kanada, dari Harvard ke Berkeley dan dari Montreal ke Vancouver. Lebih dari 600 orang memadati Education Auditorium di New York University pada tanggal 21 September 1968 untuk menghadiri “Majelis Internasional Gerakan Mahasiswa Revolusioner”. Kondisi waktu itu tidak jauh beda parahnya dengan kondisi mahasiswa kita sekarang :
“Beberapa hari yang lalu, ketika berada di Toronto, salah satu pendidik Kanada yang terkenal memberikan kuliah umum tentang sebab-sebab terjadinya perlawanan mahasiswa. Menurutnya, alasan-alasan perlawanan itu “secara mendasar bersifat material. Bukan berarti bahwa kondisi hidup mereka tidak memuaskan; bukan karena mereka diperlakukan buruh seperti buruh abad XIX. Tapi karena secara sosial kita menciptakan sejenis proletariat di universitas yang tidak berhak berpartisipasi dalam menentukan kurikulum, tidak berhak, setidaknya untuk ikut menentukan kehidupan mereka sendiri selama empat, lima atau enam tahun yang mereka habiskan di universitas…..
….. Mereka pertama-tama berhadapan dengan wewenang para dosen dan lembaga-lembaga universitas yang paling tidak dalam bidang ilmu sosial nyata tidak berhubungan dengan realitas. Pelajaran yang mereka peroleh tidak memberikan analisis ilmiah yang obyektif tentang apa yang sedang terjadi di dunia atau negara-negara Barat lainnya. Tantangan terhadap wewenang akademis dari lembaga inilah yang kemudian cepat bergeser menjadi tantangan terhadap isi pendidikannya. Sebagai tambahan, di Eropa kondisi material untuk universitas masih sangat kurang. Terlalu penuh. Ribuan mahasiswa harus mendengar dosen-dosen berbicara melalui sound system. Mereka tidak dapat berbicara dengan dosen-dosen itu atau sedikitnya berhubungan, bertukar pikiran yang normal atau dialog.”
Kondisi Mandel yang demikian tidak beda jauh dengan kondisi kita di Indonesia, bahkan agaknya kondisi kita lebih parah. Penghisapan yang terjadi kepada mahasiswa, kini bersifat multi dimensi. Ketika kampus tidak lagi mengabdi pada rakyat tertidas, maka kebudayaan dan ilmu pengetahuan rakyat akan semakin mundur, dan terus menerus mundur karena digeser oleh kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang dibikin oleh pemodal besar. Sehingga berdasarkan segala hal tersebut, maka segala gerakan mahasiswa harus difokuskan pada perolehan hak-hak pendidikan sebagai persoalan pokok mahasiswa, apalagi mengingat pendidikan adalah hak normatif yang dijamin Indonesia sebagai negara hukum.
Namun hal ini bukan berarti mahasiswa melulu berjuang pada isu pendidikan semata. Gerakan mahasiswa juga perlu bersolidaritas dan bergabung dengan gerakan rakyat di sektor lain, semisal pada klas buruh dan kaum tani. Adapun yang menjadi garis bawah dalam hal sinergi dengan gerakan rakyat di sektor lain ialah, bahwa mahasiswa tidak boleh bersikap sok. Mahasiswa bukan superhero sehingga tugasnya bukan menyelesaikan persoalan sendirian. Tugas mahasiswa dalam gerakan sektoral hanya sekedar bersolidaritas membantu perjuangan, dan bukan mengintervensi. Ini sudah terbukti pada 1965 dan 1998 ternyata ketika mahasiswa di barisan depan sok berjuang untuk rakyat, yang terjadi justru mahasiswa hanya menjadi alat bagi kelompok tertentu untuk menggulingkan rezim. Nah, persoalan selain isu hak pendidikan inilah yang disebut sebagai persoalan non-pokok, yang tidak boleh dipisah dengan hak pendidikan sebagai persoalan pokok.
Berbagai gerakan mahasiswa di belahan dunia, mulai di Filipina (Anakbayan), Chile (Chile’s Confederation of Student Union, Jerman (Sozialistische Deutsche Studentenbund), sampai Quebec (CLASSÉ, FECQ dan FEUQ), telah menunjukkan konsistensinya memperjuangkan hak pendidikan. Maka jika bicara tentang persatuan, inilah persoalan pokok yang sama-sama bisa mempersatukan gerakan mahasiswa yang kian kemari kian sibuk dengan isunya masing masing. Mahasiswa Indonesia, bersatulah!
*Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa Fakultas Hukum Unsoed Purwokerto & Anggota Front Mahasiswa Nasional